tugas Hermeneutika

Hermeneutika (dari bahasa Yunani Ερμηνεύω hermēneuō: menafsirkan) adalah aliran filsafat yang bisa didefinisikan sebagai teori interpretasi dan penafsiran sebuah naskah melalui percobaan. Biasa dipakai untuk menafsirkan Alkitab, terutama dalam studi kritik mengenai Alkitab.
Kata Yunani tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani, yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa kepada manusia. Dewa ini juga dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian.1
Dengan demikian kegiatan menafsir adalah kegiatan yang biasa kita lakukan di dalam hidup kita sehari-hari. Terlebih lagi ketika kita membaca Alkitab, kita pun harus menafsirkannya. Ada beberapa metode menafsir Alkitab antara lain kritik bentuk dan kritik tradisi.

Daftar isi

[sembunyikan]

Kritik bentuk

Kritik bentuk merupakan salah satu metode dari penafsiran Alkitab. Kritik bentuk sebenarnya mengkonsentrasikan pada bagian-bagian teks yang lebih luas, bahkan hingga seluruh kitab, akan tetapi secara keseluruhan metode ini menaruh perhatian lebih pada unit atau bagian terkecil yang lebih singkat dari suatu teks atau tulisan. Kritik bentuk ini meneliti proses penyampaian berita (yang ditulis berupa teks), dimulai dari bentuk pewartaan secara lisan (dari mulut ke mulut) hingga bentuk tertulis yang kita miliki sekarang ini.
Oleh karena itu kritik bentuk ini adalah aspek dari pendekatan kritis yang meneliti bentuk, isi, dan fungsi unit yang khusus dan menilai apakah semuanya itu cukup jelas dan cukup unik sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan serta menafsirkannya sebagai salah satu bentuk. Proses meneliti bentuk tersebut adalah dengan cara menemukan faktor-faktor dalam pola yang sama yang dapat dijelaskan dan ditentukan ciri-ciri dan tolok ukurnya secara jelas, sehingga teks dapat digolongkan ke dalam sebuah bentuk tertentu. Setelah kita meneliti bentuk (sebuah teks) dengan seksama maka kita mendapatkan sebuah hubungan langsung antara bentuk dan isi sastra dari sebuah teks.

Tujuan dan fungsi

Seperti dikatakan tadi, kritik bentuk ini mengkonsentrasikan teks secara lebih luas. Kritik bentuk ini berusaha menjelaskan dalam keadaan sosial dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah bentuk-bentuk itu memiliki peran. Di dalam situasi kehidupan sosial yang bagaimanakah suatu bentuk (dari teks) dapat dijumpai. Di dalam situasi kehidupan sosial yang tertentu sangat menentukan bentuk dan gaya-gaya sastra yang tertentu pula.
Kritik bentuk memberikan analisa terhadap suatu teks yang terdapat di dalam Alkitab. Kritik bentuk tersebut menunjukkan kepada kita, apa yang menjadi bentuk dari teks tersebut. Analisa yang diberikan oleh kritik bentuk ini disebut sebagai periode lisan. Periode lisan menjadi awal terjadinya peristiwa di dalam kehidupan Yesus dan waktu terjadinya dituliskan di dalam Injil. Periode lisan inilah yang menjadi bukti bahwa penafsiran suatu teks bisa bervariasi. Awalnya, cerita tersebut di beritakan secara lisan, yaitu dari mulut ke mulut. Dari hasil pemberitaan cerita-cerita tersebut lahirlah penafsiran-penafsiran yang berbeda dari setiap penerima cerita tersebut. Para pendengar cerita-cerita tersebut pun mengajarkannya di dalam peribadahan dalam gereja mula-mula. Cerita-cerita tersebut disampaikan berdasarkan suasana kehidupan jemaat mula-mula pada saat itu. Kritik bentuk juga melihat dampak dari cerita tersebut terhadap orang-orang di sekitarnya. Cerita-cerita menanggapi kebutuhan jemaat mula-mula. Para ahli memberi istilah Sitz im Leben (bahasa Jerman, yang artinya kedudukan dalam kehidupan) untuk kritik bentuk. Tiap-tiap bentuk sastra dipakai dengan alasan tertentu dan untuk menanggapi keperluan hidup tertentu.
Perjanjian Baru terdiri dari empat ragam, yaitu: Injil, Kisah Para Rasul, Surat-Surat, dan Kitab Wahyu. Kitab Injil memiliki berbagai macam bentuk, yaitu: perkataan-perkataan, cerita mujizat, perumpamaan-perumpamaan, legenda (mengenai kelahiran Yesus), dll. Sedangkan pada surat-surat pada Perjanjian Baru terdapat bentuk nyanyian, doa, ringkasan khotbah, kata-kata nasihat, dan bentuk pengakuan iman. Dimensi kritik bentuk yang demikian ini menekankan hubungan yang maha pentingantara jenis sastra, lingkungan social dan kelembagaannya yang khusus serta latar belakang budayanya secara keseluruhan. Melalui Kritik bentuk kita para pembaca dibantu untuk melihat adanya tiga ragam situasi kehidupan dalam pemberitaan Injil: lingkungan kehidupan ‘Yesus, lingkungan kehidupan jemaat, dan lingkungan injil sebagaimana kita miliki sekarang. Oleh karena itu, kritik bentuk adalah berusaha menemukan sejarah sastra Alkitab yang lengkap dan hidup, khususnya untuk mendapatkan pemahaman mengenai tahap perkembangan lisannya, dan untuk meletakkan semua tahap perkembangan ke dalam konteksnya dalam kehidupan bangsa Israel dan gereja mula-mula.

Kritik Tradisi

Saat ini kita akan membahas mengenai kritik tradisi yang merupakan salah satu metode yang dapat dipakai dalam menafsirkan teks-teks Alkitab. Tradisi merupakan hal yang lazim ada pada setiap kebudayaan, karena tradisi mengungkapkan pemahaman diri bangsa-bangsa, pengertian mereka tentang masa lalu, dan berbagai hal yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Biasanya, tradisi diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk cerita, perkataan, nyanyian, puisi, kepercayaan dll. Metode yang akan kita bahas; kritik tradisi, terfokus pada tradisi-tradisi yang digunakan dalam perjalanan suatu masyarakat.
Sebelum menjadi suatu kesatuan yang padu, teks-teks Alkitab memiliki tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangannya sendiri (ada yang dalam jangka waktu yang panjang ataupun sebaliknya), memang tidak semua teks mengalami hal ini tetapi sebagaian besar teks Alkitab melalui proses ini dan tradisi menjadi salah satu bagian penting dalam perjalanan teks-teks tersebut. Dengan kenyataan seperti itu kritik tradisi pun dapat menjadi metode yang sangat bermanfaat untuk melakukan pendekatan pada teks-teks Alkitab. Dalam hal ini, Pentateukh dapat menjadi contoh yang tepat karena Pentateukh mengalami tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam jangka waktu yang lama. Kita dapat menemukan banyak penyuntingan yang dilakukan dalam kronologi waktu yang berbeda. Kekhasan dalam unsur-unsur sastra di dalamnya, penggunaan bahasa, gaya penulisan, sumber-sumber dst sehingga menunjukkan perbedaan teks, secara tidak langsung menunjukkan lamanya perjalanan teks tersebut dengan tradisi yang juga berbeda-beda (tradisi Y, E, D, dan P). Sedangkan Injil dapat menjadi contoh yang tepat bagi teks-teks yang juga melalui perjalanan tahapan teks tetapi dalam jangka waktu yang relativ lebih pendek.
Masa yang dilalui teks sebelum menjadi Alkitab, sering digolongkan menjadi periode lisan dan tulisan. Cerita-cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut dalam periode lisan diperlakukan sebagai tradisi yang dianggap cukup berharga dan suci untuk diteruskan ke generasi berikutnya. Menurut buku Pedoman Penafsiran Alkitab, istilah tradisi merujuk pada apa yang diteruskan ke generasi berikutnya baik suci atau tidak, tetapi dalam konteks PL dan PB tentu saja cerita yang dianggap suci dan normative bagi orang percayalah yang diteruskan. Kritik tradisi dapat diterapkan juga pada periode tulisan.
Cara bagaimana suatu tradisi bertumbuh dan berkembang dapat dilihat juga pada tulisan-tulisan zaman modern . Misalnya dalam buku nyanyian gereja. Seringkali kita temukan versi yang berbeda. Ada yang berisikan tiga bait, ada yang lima bait. Kata-kata pada buku nyanyian yang satu berbeda dari buku nyanyian yang lain. Jika kita mencoba untuk memahami versi tertentu dari sebuah nyanyian, maka akan banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ini versi yang asli? Atau, apakah ada yang lebih asli dari sebelumnya, dsb. Ini berarti bahwa nyanyian sudah menjadi tradisi atau “ditradisikan”. Nyanyian itu muncul pada satu waktu kemudian disebarluaskan dan diubah-ubah sampai nyanyian itu kini dapat kita temukan dalam berbagai bentuk.
Begitu pun Alkitab. Seringkali tulisan-tulisan Alkitab memperlihatkan pertumbuhan yang serupa yang terletak dibalik sebuah teks tertentu. Itu dapat kita lihat pada kitab PL tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11. Ketika kita melihat isi dan strukturnya, kita akan menemukan satu versi lain dalam Ulangan 5:12-15, dan yang lebih penting lagi keduanya terdapat beberapa perbedaan. Diantaranya, kitab Keluaran lebih pendek beberapa baris. Isi dari kedua kitab ini pun berbeda. Dalam kitab Keluaran, pemelihaaan hari Sabat dikaitkan dengan penciptaan dunia, sedangkan dalam kitab Ulangan, pemeliharaan hari Sabat didasarkan pada pembebasan dari mesir. dari hal-hal ini kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana dua versi dari perintah yang sama di dalam Dasa Titah berkaitan satu dengan yang lain? Versi yang panjang lebih tua atau yang pendek yang lebih tua? Bagaimana menjelaskan adanya dua dasar teologi yang satu sama lain berbeda untuk pemeliharaan hari Sabat, dsb. Itulah pertanyaan yang diajukan oleh kritik tradisi. Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari perintah yang sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjdai perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.
Cara bagaimana suatu tradisi bertumbuh dan berkembang dapat dilihat pada tulisan-tulisan zaman modern . Misalnya dalam buku nyanyian gereja. Seringkali kita temukan versi yang berbeda. Ada yang berisikan tiga bait, ada yang lima bait. Kata-kata pada buku nyanyian yang satu berbeda dari buku nyanyian yang lain. Jika kita mencoba untuk memahami versi tertentu dari sebuah nyanyian, maka akan banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ini versi yang asli? Atau, apakah ada yang lebih asli dari sebelumnya, dsb. Ini berarti bahwa nyanyian sudah menjadi tradisi atau “ditradisikan”. Nyanyian itu muncul pada satu waktu kemudian disebarluaskan dan diubah-ubah sampai nyanyian itu kini dapat kita temukan dalam berbagai bentuk.
Begitu pun Alkitab. Seringkali tulisan-tulisan Alkitab memperlihatkan pertumbuhan yang serupa yang terletak dibalik sebuah teks tertentu. Itu dapat kita lihat pada kitab PL tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11. Ketika kita melihat isi dan strukturnya, kita akan menemukan satu versi lain dalam Ulangan 5:12-15, dan yang lebih penting lagi keduanya terdapat beberapa perbedaan. Diantaranya, kitab Keluaran lebih pendek beberapa baris. Isi dari kedua kitab ini pun berbeda. Dalam kitab Keluaran, pemelihaaan hari Sabat dikaitkan dengan penciptaan dunia, sedangkan dalam kitab Ulangan, pemeliharaan hari Sabat didasarkan pada pembebasan dari mesir. dari hal-hal ini kemudian akan muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana dua versi dari perintah yang sama di dalam Dasa Titah berkaitan satu dengan yang lain? Versi yang panjang lebih tua atau yang pendek yang lebih tua?
Bagaimana menjelaskan adanya dua dasar teologi yang satu sama lain berbeda untuk pemeliharaan hari Sabat, dsb. Itulah pertanyaan yang diajukan oleh kritik tradisi. Kritik tradisi mengakui bahwa dua versi dari perintah yang sama itu merupakan bentuk akhir sastra yang muncul dari suatu proses pembentukan dan perkembangan yang panjang. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjdai perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.
Kritik tradisi juga bergantung pada tekhnik-tekhnik penafsiran, dimensi sejarah dan kesusestraan. Kritik tradisi dalam tulisan alkitabiah terdapat banyak tulisan yang menunjukkan suatu proses penerusan tradisi yang masih berlangsung. Contohnya, terdapat pada pentateukh, selain itu Keluaran dan Ulangan ( yang terdapat dalam Perjanjian lama ) tradisi tentang perjalanan di padang gurun. Hal ini memiliki arti tradisi penderitaan yang menceritakan pengharapan akan kebebasan. Kebebasan dalam tulisan alkitabiah juga disesuaikan pada tradisi yang ada. Kritik tradisi memperoleh hasil yang bersifat hipotesis. Perlu diketahui juga untuk menafsirkan secara pendekatan kritik tradisi harus memerhatikan pemilahan bentuk-bentuk khusus teks, menyusunnya dalam urutan kronologis dan menafsirkan pelbagai aspek tahap-tahap perkembangan.

Catatan kaki

1Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, trans. Silas C.Y. Chan (Monterey Park, Ca.: Living Spring Publishing, 1983), hal. 10. Arndt and Gingrich, A Greek-English Lexicon of The New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: The Univ, of Chicago Press, 1957), hal. 309-310.

[sunting] Daftar pustaka

  • Sutanto, Hasan, Hermenutik - Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab.1998. SAAT: Malang
  • Fee, Gordon D. & Douglas Stuart. Hermeneutik - Bagaimana Menafsirkan Firman Tuhan dengan Tepat. 1998. Gandum Mas: Malang
  • Hayes John H. dan Holladay Carl R., Pedoman Penafsiran Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
  • Rogerson, John : Perjanjian Lama Bagi Pemula : Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006
  • Radjagukguk, Robinson : Apa itu Penelitian Bentuk di dalam Forum Biblika No.8 1998
2.1. Logika
Kata logika berasal dari kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran. Secara bahasa logika berarti ilmu berkata atau ilmu berfikir benar. Kebenaran adalah syarat dari tindakan untuk mencapai tujuannya bagi laku perbuatan untuk menunjukan nilai. Logika menuntun pandangan lurus dalam praktek berfikir menuju kebenaran dan menghindarkan budi menempuh jalan yang salah dalam berfikir. Logika merupakan studi dari salah satu pengungkapan kebenaran dan dipakai untuk membedakan argumen yang masuk akal, serta berbagai bentuk argumentasi. Logika dalam kajiannya pada problem formal dan spesifik tentang keteraturan penalaran. Logika berurusan dengan pengetahuan yang bersifat formal apriori. Pengetahuan yang bersifat apriori adalah pengetahuan kebenarannya abstain dari pengalaman melainkan hanya berdasarkan definisi. Dalam logika sangat terkait dengan matematika.
Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen logis untuk mengantarkan kita kepada kesimpulan yang tidak dapat diperoleh dari sekedar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan ada hubungan logis antara satu proposisi atau premis lebih dengan proposisi yang lain, kesimpulannya kurang lebih berbentuk bahwa yang kedua pasti benar jika yang pertama benar. Kemudian jika kita mengetahui yang pertama, kita dapat meyatakan yang kedua berdasarkan yang pertama.
Cara berpikir secara logis terbagi dua, yaitu : induktif dan deduktif
Induktif merupakan suatu cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Deduktif adalah suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
2.2. Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan).
Silogisme terdiri dari ; Silogisme Katagorik, Silogisme Hipotetik dan Silogisme Disyungtif.
a. Silogisme Katagorik
Silogisme Katagorik adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term penengah (middle term).
Contoh :
Semua Tanaman membutuhkan air (premis mayor)
……………….M……………..P
Akasia adalah Tanaman (premis minor)
….S……………………..M
Akasia membutuhkan air (konklusi)
….S……………..P
(S = Subjek, P = Predikat, dan M = Middle term)
- Hukum-hukum Silogisme Katagorik
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halal
dimakan).
Apabila salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga, seperti:
Semua korupsi tidak disenangi.
Sebagian pejabat adalah korupsi, jadi
Sebagian pejabat tidak disenangi.
(Kesimpulan tidak boleh: Sebagian pejabat disenangi)
Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah diambil kesimpulan.
Beberapa politikus tidak jujur.
Banyak cendekiawan adalah politikus, jadi:
Banyak cendekiawan tidak jujur.
Jadi: Beberapa pedagang adalah kikir. Kesimpulan yang diturunkan
dari premis partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti, oleh karena itu kesimpulan seperti:
Sebagian besar pelaut dapat menganyam tali secara bai
Hasan adalah pelaut, jadi:
Kemungkinan besar Hasan dapat menganyam tali secara baik
adalah tidak sah.
Sembilan puluh persen pedagang pasar Johar juju Kumar adalah pedagang pasar Johar, jadi: Sembilan puluh persen Kumar adalah jujur
1) Dari dua premis yang sama-sama negatit, lidak men kesimpulan apa pun, karena tidak ada mata rantai ya hubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpul diambil bila sedikitnya salah satu premisnya positif. Kesimpulan yang ditarik dari dua premis negatif adalah tidak sah.
Kerbau bukan bunga mawar.
Kucing bukan bunga mawar.
….. (Tidak ada kesimpulan) Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertunjukk Tidak satu pun drama Shakespeare mudah dipertunju Jadi: Semua drama Shakespeare adalah baik. (Kesimpulan tidak sah)
2) Paling tidak salah satu dari term penengah haru: (mencakup). Dari dua premis yang term penengahnya tidak ten menghasilkan kesimpulan yang salah, seperti:
Semua ikan berdarah dingin.
Binatang ini berdarah dingin
Jadi: Binatang ini adalah ikan.
(Padahal bisa juga binatang melata)
3) Term-predikat dalam kesimpulan harus konsisten dengan term redikat yang ada pada premisnya. Bila tidak, kesimpulan lenjadi salah, seperti
Kerbau adalah binatang.
Kambing bukan kerbau.
Jadi: Kambing bukan binatang.
(‘Binatang’ pada konklusi merupakan term negatif sedang-
kan pada premis adalah positif)
4) Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis layor maupun premis minor. Bila term penengah bermakna mda kesimpulan menjadi lain, seperti:
Bulan itu bersinar di langit.
Januari adalah bulan.
Jadi: Januari bersinar di langit.
(Bulan pada premis minor adalah nama dari ukuran waktu
yang panjangnya 31 hari, sedangkan pada premis mayor
berarti planet yang mengelilingi bumi).
5) Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, preidkat, dan term menengah ( middle term ), begitu juga jika terdiri dari dua atau lebih dari tiga term tidak bisa diturunkan komklsinya.
- Absah dan Benar
Dalam membicarakan silogisme mengenal dua istilah yaitu absah dan benar.
Absah (valid) berkaitan dengan prosedur penyimpi apakah pengambilan konklusi sesuai dengan patokan atau tidak. Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan di atas dan dan tidak valid bila sebaliknya.
Benar berkaitan dengan proposisi dalam silogisme itu, 2 didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai fakta, proposisi itu benar, bila tidak ia salah.
Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan satuan yang tidak bisa dipisahkan, untuk mendapatkan yang sah dan benar. Hanya konklusi dari premis yang benar prosedur yang sah konklusi itu dapat diakui. Mengapa demikian Karena bisa terjadi: dari premis salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yang benar, demikian juga dari premis salah dan prosedur invalid dihasilkan konklusi benar.
Variasi-variasinya adalah sebagai berikut:
1. Prosedur valid, premis salah dan konklusi benar.
Semua yang baik itu haram. (salah)
Semua yang memabukkan itu baik. (salah)
Jadi: Semua yang memabukkan itu haram. (benar)
2. Prosedur invalid (tak sah) premis benar konklusi salah
Plato adalah filosof. (benar)
Aristoteles bukan Plato. (benar)
Jadi: Aristoteles bukan filosof (salah)
3. Prosedur invalid, premis salah konklusi benar.
Sebagian politikus adalah tetumbuhan. (salah)
Sebagian manusia adalah tetumbuhan. (salah)
Jadi: Sebagian manusia adalah politikus (benar)
4. Prosedur valid premis salah dan konklusi salah.
Semua yang keras tidak berguna. (salah)
Adonan roti adalah keras. (salah)
Jadi: Adonan roti tidak berguna (salah)
b. Silogisme Hipotetik
Silogisme Hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:
1. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
2. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa,
Jadi kegelisahan tidak akan timbul.
4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
Hukum-hukum Silogisme Hipotetik
Mengambil konklusi dari silogisme hipotetik jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini dalah menentukan ‘kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen .engan B, jadwal hukum silogisme hipotetik adalah:
1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.
Kebenaran hukum di atas menjadi jelas dengan penyelidikan
berikut:
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan membubung tinggi.( benar = terlaksana)
Benar karena mempunyai hubungan yang diakui kebenarannya
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan tidak membubung tinggi (tidak sah = salah)
Tidak sah karena kenaikan harga bahan makanan bisa disebabkan oleh sebab atau faktor lain.
c. Silogisme Disyungtif
Silogisme Disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya keputusan disyungtif sedangkan premis minornya kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.
Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang semestinya.
Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti
sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif
dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif,
seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus, jadi
la bukan tidak lulus.
Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:
Hasan di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi di pasar.
Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:
1) Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain, seperti:
la berada di luar atau di dalam.
Ternyata tidak berada di luar.
Jadi ia berada di dalam.
Ia berada di luar atau di dalam.
temyata tidak berada di dalam.
Jadi ia berada di luar.
2) Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain, seperti:
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di masjid.
Jadi ia tidak berada di sekolah.
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di sekolah.
Jadi ia tidak berada di masjid.
Hukum-hukum Silogisme Disyungtif
1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid, seperti :
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata berbaju putih.
Jadi ia bukan tidak berbaju putih.
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata ia tidak berbaju putih.
Jadi ia berbaju non-putih.
2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar), seperti:
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu a konklusinya tidak sah (salah), seperti:
Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Solo. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Budi menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa j’adi ia seorang pedagang).
2.3. Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat selutuh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.
Macam-macam Generalisasi :
(1) Generalisasi sempurna adalah generalisasi di mana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Misalnya setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian disimpulkan bahwa:
Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31.
Dalam penyim¬pulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan.
Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat
dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan
tidak ekonomis.
(2) Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Misalnya setelah kita menyelidiki sebagian bangsa Indonesia bahwa mereka adalah manusia yang suka bergotong-royong, kemu¬dian kita simpulkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi tidak sempurna.
PEMBAHASAN DAN REALITA
3.1. Pendekatan Deduktif dan Induktif dalam Model Pembelajaran
Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan. prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip. aturan yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif; (2) menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan buktinya; (3) disajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan. prinsip umum; dan (4) disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaar umum.
Sedangkan berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dari tiga preposisi statement yang terdiri dari “premise” yaitu dasar penarikan kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung suatu kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dan yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir deduktif ini orang bertolak dan suatu teori prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum Dari situ diterapkan kepada fenomena-fenomena yang khusus. dan mengambi kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut.
Pendekatan Induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Inggri Francis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena.
Tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara berpikir yang diambil secara induktif ini menurut Purwanto (2002:47) bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar jumlah sampel yang diambil berarti makin representatif dan makin besar pula taraf dapat dipercaya (validitas) dari kesimpulan itu, dan sebaliknya. Taraf validitas kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam konteks pembelajaran pendekatan Induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan.
Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh-contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu; (3) disajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Syamsudin Makmun (2003:228) siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau pengertian dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif. deduktif, analisis, sintesis. asosiasi. diferensiasi, komparasi, dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule” (prinsip. dalil, aturan. hukum, kaidah. dan sebagainya).
Pendekatan yang tidak bersifat demokratis ialah pendekatan deduktif yang agak lebih banyak mengandung sifat otoriter. Dalam kegiatan pembelajaran ini guru dalam mengajar tidak memberikan siswa kesempatan sepenuhnya menemukan. membuktikan sendiri prinsip, hukum dan sebagainya tentang bahan belajar yang harus ditelaah. Kondisi yang diisyaratkan kemungkinan tercapainya proses belajar seperti ini, Gagne menyarankan: (1) siswa diberitahukan tentang bentuk “performance” yang diharapkan jikak yang bersangkutan telah mengalami proses belajar; (2) siswa diberik; sejumlah pertanyaan yang merangsang pengingatannya (recall) terhads konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkap ke perbendaharaan pengetahuannya; (3) siswa diberikan beberapa kata-kata kunci (kode) yang menyatakan ke arah pembentukan rule tertentu yang diharapkan (4) diberikan kesempatan kepada siswa mengekspressikan dan menyatakan ru tersbut dengan kata-kata sendiri; dan (5) siswa diberikan kesempatan selanjutnya untuk membuat rumusan rule tersebut dalam bentuk-benti statement formal bersifat optional sukarela.
3.2. Realita Silogisme dan Generalisasi dalam Penelitian Guru
Beberapa contoh pendekatan silogisme dan genelisasi dalam penelitian yang dilakukan guru :
Guru berpikir bahwa minat siswa berpengaruh pada tingginya prestasi belajar. Oleh karena itu, guru melakukan penelitian yang judulnya “Korelasi antara Minat dengan Prestasi Belajar” atau “Pengaruh Minat terhadap Prestasi Belajar”. Dalam contoh ini mungkin guru merasa telah melakukan suatu tindakan karena sudah menyusun angket minat dan membuka dokumen daftar nilai. Apa hasilnya? Setelah angket disebarkan kepada siswa, kemudian diperoleh data dan diolah dengan statistik maka guru akan memperoleh informasi berupa indeks korelasi. Guru puas, tetapi prestasi belajar siswa tidak terpengaruh apa-apa, jadi tetap saja tidak naik.
Ditinjau dari sisi guru, sama sekali profesinya tidak meningkat. Dalam peristiwa ini guru hanya menyusun angket minat dan menganalisis nilai yang ada pada dokumen. Apanya yang meningkat? Tidak ada!
Contoh lain yang banyak dilakukan oleh guru, tetapi sangat tidak tepat adalah penelitian untuk mengetahui pengaruh latar belakang pendidikan orang tua dengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini guru juga tidak melakukan apa-apa, bahkan berpikir kurang tepat. Guru berprasangka, jika pendidikan orang tua siswa tinggi, pasti dapat memberikan bimbingan kepada anaknya dalam belajar sehingga prestasi anak-anak tinggi. Hasil dari penelitian ini justru ada bahayanya. Jika prestasi siswa yang orang tuanya berpendidikan tinggi lebih baik dari siswa yang orang tuanya berpendidikan rendah, saran peneliti harus berbunyi: “Orang tua sebaiknya berpendidikan tinggi agar prestasi anaknya baik”.
Jika hasilnya berbalik, saran yang diberikan harus berbunyi: “Sebaiknya orang tua siswa tidak usah berpendidikan tinggi karena dikhawatirkan prestasi anaknya menjadi tidak baik”.
Contoh ketiga ; guru mempunyai permasalahan tentang aktifitas belajar siswa, penguasaan materi pembelajaran dengan sarana belajar, sehingga guru melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya, setelah melakukan penelitian dapat dikatakan ada peningkatan siswa menjadi aktif, penyempaian materi menjadi menyenangkan karena temannya menjadi tutor atau pemberi materi pelajaran.
Dari contoh di atas dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Pada contoh pertama : penelitian yang dilakukan guru salah atau tidak sah karena tidak menggunakan pendekatan silogime yang benar, yaitu :
Pengaruh Minat terhadap Prestasi Belajar
angket disebarkan kepada siswa
prestasi belajar siswa tidak berubah
2. Contoh kedua :
Pendidikan orang tua siswa tinggi
Pendidikan orang tua siswa tinggi
….. tidak terjadi kesimpulan
3. Contoh ketiga :
Jika menggunakan metode yang sesuai dan kreatif maka Siswa aktif dan belajar menyenangkan
Penggunaan variasi metode pembelajaran di lakasanakan
Maka siswa menjadi aktif
Pada contoh ketiga ini menggunakan penddekatan silogisme hipotetik, yaitu jika A terlaksana maka B terlaksana
DAFTAR PUSTAKA
Mundiri, Logika, Jakarta : Rajawali Pers, 1994.
Nasution, Hakim, Andi, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 2005
Arikunto, Suharsimi, dkk. Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta : PT Bumi
Aksara, 2006.
http://www.unhas.ac.id/~rhiza/mystudents/filsafat-
iptek/Bab%209%20Yunus%20dan%20Halidin.ppt
http://www.halimsani.wordpress.com/2007/09/18/apakah-filsafat-itu-sebuah-
pengantar-kealam-filsafat/
http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

Rumah Filsafat (The House of Philosophy)

Januari 2, 2010

Memahami Hermeneutika

Diarsipkan di bawah: Uncategorized — rezaantonius @ 1:01 am
hermeneutics.jpg
 (220×170)
Enam Definisi Hermeneutika
Reza A.A Wattimena
Definisi hermeneutika masihlah terus berkembang. Menurut Richard E. Palmer, definisi hermeneutika setidaknya dapat dibagi menjadi enam. Sejak awal, hermeneutika telah sering didefinisikan sebagai ilmu tentang penafsiran (science of interpretation).[1] Akan tetapi, secara luas, hermeneutika juga sering didefinisikan sebagai, pertama, teori penafsiran Kitab Suci (theory of biblical exegesis). Kedua, hermeneutika sebagai metodologi filologi umum (general philological methodology). Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang semua pemahaman bahasa (science of all linguistic understanding). Empat, hermeneutika sebagai landasan metodologis dari ilmu-ilmu kemanusiaan (methodological foundation of Geisteswissenschaften). Lima, hermeneutika sebagai pemahaman eksistensial dan fenomenologi eksistensi (phenomenology of existence dan of existential understanding). Dan enam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran (system of interpretation). Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang terkandung dalam mitos-mitos ataupun simbol-simbol.
Keenam definisi tersebut bukan hanya merupakan urutan fase sejarah, melainkan pendekatan yang sangat penting didalam problem penafsiran suatu teks. Keenam definisi tersebut, masing-masing, mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan, dari tindakan manusia menafsirkan, terutama penafsiran teks.[2] Tulisan ini mau memberikan kerangka menyeluruh tentang keenam definisi tersebut, yang lebih banyak berfungsi sebagai pengantar pada arti sesungguhnya dari hermeneutika.
Teori Penafsiran Kitab Suci
Pengertian tertua, dan mungkin yang paling banyak dipahami oleh banyak orang, adalah hermeneutika sebagai prinsip-prinsip penafsiran kitab suci (principles of biblical interpretation). Ada pembenaran yang bersifat historis terhadap pemahaman ini, karena kata hermeneutika pada era modern memang digunakan untuk mengisi kebutuhan akan panduan dalam penafsiran Kitab Suci. Akan tetapi, hermeneutika bukanlah isi penafsiran, melainkan metodenya. Perbedaan antara penafsiran aktual (exegesis) dan aturan-aturan, metode-metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutika) sudah sejak lama disadari, baik didalam refleksi teologis, dan kemudian didalam refleksi-refleksi non teologis.
Di Inggris, dan nantinya di Amerika, penggunaan kata hermeneutika mengikuti kecenderungan umum yang mengacu pada penafsiran kitab suci. Penggunaan pertama, setidaknya yang terdokumentasikan, dapat dilihat di Oxford English Dictionary pada 1737, yakni “mengambil kebebasan dengan tugas khusus yang suci, yang juga berarti melakukan tugas-tugas yang adil dan hermeneutika yang bijaksana.”[3]
Ketika penggunaan kata hermeneutika meluas pada teks-teks non kitab suci, biasanya teks tersebut sangatlah sulit untuk dimengerti, sehingga membutuhkan metode khusus untuk mengerti makna yang tersembunyi. Salah satu bentuk hermeneutika non kitab suci dirumuskan oleh Edward Burnett Taylor pada Primitive Culture (1871). Ia menulis, “Tidak ada legenda, tidak ada alegori, tidak rima, yang tidak membutuhkan hermeneutika untuk mengerti mitologi-mitologi.”[4] Dengan demikian, seperti sudah disinggung sebelumnya, penggunaan kata hermeneutika pada bidang-bidang non kitab suci seringkali ditujukan pada teks-teks yang memiliki makna tersembunyi yang sulit dimengerti, sehingga membutuhkan penafsiran khusus untuk menangkap makna tersebut.
Kata hermeneutika biasanya sering ditarik genesisnya sampai abad ke-17. Akan tetapi, proses menafsirkan, baik itu dalam bentuk penafsiran religius, sastra, maupun bahasa-bahasa hukum, dapat dirunut langsung kejaman Yunani maupun Romawi Kuno. Sejarahnya bisa dirunut sampai panjang sekali. Kedetilan historis semacam itu tidak dapat dipresentasikan disini. Akan tetapi, ada dua butir refleksi yang kiranya bisa berguna untuk kita, yakni akar hermeneutik yang sebenarnya bisa ditemukan dalam proses penafsiran Kitab Suci, dan pertanyaan lainnya yang mencangkup keluasan bidang refleksi hermeneutika.
Tanpa bermaksud untuk terjebak dalam detil, adalah penting bagi kita untuk mencatat, bahwa ada kecenderungan umum di dalam metode penafsiran Kitab Suci untuk menggunakan “sistem” penafsiran, di mana penafsiran difokuskan dengan satu metode tertentu yang telah diakui bersama. “Sistem” semacam itu seringkali dirumuskan dalam bentuk prinsip-prinsip yang berfungsi sebagai kerangka panduan. Suatu teks tidak dapat ditafsirkan dengan bersandar pada teks itu sendiri, karena hal tersebut tidaklah mungkin. Suatu teks hanya bisa ditafsirkan di bawah pengaruh semangat jaman tertentu. Misalnya, penafsiran teks-teks Kitab Suci pada jaman Pencerahan cenderung optimistik terhadap kebebasan manusia dan memuat nilai-nilai moral yang juga bersifat optimistis. Dalam arti ini, hermeneutika adalah cara ataupun metode sang penafsir untuk menemukan makna tersembunyi di dalam teks.
Pertanyaan lain banyak berkaitan dengan keluasan dan ruang lingkup hermeneutika. Dalam hal ini, setidaknya ada pendapat yang saling berdebat satu sama lain, yakni disatu sisi ada pendapat yang melihat bahwa hermeneutika haruslah merumuskan sebuah teori yang eksplisit sebagai panduan dalam menafsirkan teks, dan disisi lain ada pendapat yang melihat bahwa metode hermeneutika haruslah tidak dirumuskan secara eksplisit, melainkan implisit dan terwujud di dalam praksis penafsiran yang dikaitkan dengan pengaruh-pengaruh lainnya. Misalnya, seorang teolog yang bernama Gerard Ebeling tengah melakukan studi tentang “hermeneutika Luther”. Dalam hal ini, apakah ia harus memfokuskan diri untuk tetap pada analisa persepsi Luther tentang penafsiran, atau ia harus juga menempatkan tesis Luther tentang hermeneutika dengan tulisan-tulisan Luther yang lainnya? Ebeling melakukan keduanya. Masalahnya, apakah metode yang ia gunakan tersebut harus dalam bentuk-bentuk prinsip yang jelas berkaitan dengan tesis hermeneutika yang dirumuskan Luther, ataukah biarkan metode tersebut mewujud di dalam praktek penafsiran yang melibatkan berbagai aspek lain, yang mungkin mempengaruhi cara Luther merumuskan tesis hermeneutikanya. Yang paling baik memang menggabungkan keduanya, seperti yang dilakukan oleh Ebeling.
Dengan demikian, di dalam tegangan antara metode hermeneutika yang eksplisit fokus pada satu fenomen, atau pada metode hermeneutika yang mau menangkap yang tersembunyi di balik fenomen-fenomen lainnya, yang mungkin mempengaruhi fenomen yang ingin dianalisa, hermeneutika dan pemahaman yang mendalam tentangnya, baik secara epistemologis maupun ontologis, adalah sangat penting untuk mencari pengertian yang lebih dalam tentang cara manusia menafsirkan dirinya, maupun menafsirkan “dunianya”.
Metodologi Filologi
Perkembangan rasionalisme pada abad ke-18 juga berpengaruh pada pemahaman tentang hermeneutika. Hermeneutika pun, yang tadinya hanya digunakan di dalam proses penafsiran Kitab Suci, ternyata juga dapat diterapkan pada bidang-bidang lainnya, yang non Kitab Suci. “Norma-norma penafsiran Kita Suci”, demikian tulis Spinoza, “hanya dapat menjadi cahaya bagi rasionalitas yang cocok untuk semua.”[5]
Tantangan untuk menerapkan metode hermeneutika pada bidang-bidang non Kitab Suci. Yang menjadi penting disini adalah, bahwa sang penafsir tidak lagi hanya menarik nilai-nilai moral dari suatu teks, tetapi juga mampu memahami “roh” yang berada di balik teks, dan kemudian menterjemahkannya secara rasional sesuai konteks yang berlaku. Banyak ahli yang berpendapat, bahwa pemahaman semacam merupakan proses demitologisasi gerakan pencerahan atas teologi dan agama-agama. Walaupun, terutama di abad ke-20, proses tersebut tidak lagi dipahami sebagai pemurnian tafsiran dari mitos, dan kemudian menjadikannya serasional mungkin, tetapi lebih sebagai proses penafsiran lebih jauh dari penafsiran yang sudah ada sebelumnya.[6]
Sebagai fungsi metodologi filologi, hermeneutika menuntut sang penafsir untuk mengerti latar belakang sejarah dari teks yang ditafsirkannya. “Setiap penafsir”,tulis J.S Semler,”haruslah mampu berbicara tentang teks yang ditafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan jaman yang berbeda, serta situasi yang berbeda…”[7] Dengan demikian, seorang penafsir juga adalah seorang “sejarahwan”, yang mampu mengerti dan memahami “roh” historis dari teks yang dianalisanya, sehingga makna yang tersembunyi dapat terungkap.
Ilmu Pemahaman Bahasa
Dalam bidang ini, filsuf yang banyak memberikan kontribusi adalah Schleiermacher. Ia memandang hermeneutika sebagai semacam sintesa antara “ilmu” sekaligus “seni” untuk memahami. Pemahaman semacam ini mau melampaui konsep, yang melulu memandang hermeneutika sebagai kelompok aturan koheren dan sistematis, yang merupakan panduan utama untuk menafsirkan teks. Schleiermacher tidak puas hanya dengan memandang hermeneutika sebagai metodo filologi, seperti yang sedikit sudah dijelaskan di atas, melainka juga melihat hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”.[8] Prinsip-prinsip hermeneutika umum dapat juga berfungsi sebagai landasan atas berbagai macam penafsiran teks.
Dengan merumuskan hermeneutika sebagai “hermeneutika umum”, ia, untuk pertama kalinya, memahami hermeneutika sebagai studi atas pemahaman itu sendiri. Hermeneutika semacam ini merupakan semacam sintesa antara tafsir Kitab Suci dan Filologi.
Landasan Metodologis bagi Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Wilhelm Dilthey, satu filsuf yang banyak berbicara tentang hermeneutika pada abad ke-19, berpendapat, bahwa hermeneutika adalah displin berpikir, yang dapat digunakan sebagai landasan metodologi untuk ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni ilmu-ilmu yang memfokuskan analisanya pada pemahaman akan seni, tindakan sosial manusia, maupun karya-karyanya.
Menurutnya, untuk menafsirkan dan memahami ekspresi dari karya-karya manusia, terutama dalam bentuk karya-karya sastra, penafsiran Kitab Suci, dan penafsiran hukum, diperlukan tindakan pemahaman sejarah, yang secara operasional berbeda dengan metode sains yang kuantitatif untuk memahami gejala-gejala alam. Ia berpendapat bahwa di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan diperlukan “rasionalitas” yang lain untuk memperoleh pemahaman sejarah, yang berbeda dari “rasionalitas murni” Kantian, yang dapat digunakan untuk menafsirkan alam. Jenis “rasionalitas” untuk memperoleh pemahaman di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah “rasionalitas historis”.
Hermeneutika, bagi Dilthey, adalah displin ilmu yang berfokus pada problem penafsiran, dan terutama sekali adalah penafsiran atas obyek-obyek historis, yakni sebuah teks. Oleh karena itu, metode yang paling tepat adalah memahami, dan bukan mengkalkulasi secara kuantitatif, seperti yang diterapkan pada ilmu-ilmu alam. Dalam hal ini, ia telah merumuskan landasan yang lebih manusiawi dan historis tentang metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan.
Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial
Berbicara tentang Dasein berarti kita harus berbicara tentang Martin Heidegger. Untuk merefleksikan berbagai problem metafisika, ia menggunakan fenomenologi, seperti yang telah dirumuskan oleh Edmund Husserl. Heidegger melakukan studi fenomenologi atas keseharian manusia di dunia. Studinya tersebut ada pada buku Being and Time (1927), yang merupakan karya Magnus Opusnya. Dalam bukunya tersebut, ia melakukan refleksi atas (manusia) Dasein, yang disebutknya sebagai hermeneutika atas Dasein.
Dalam konteks ini, hermeneutika tidaklah diartikan sebagai ilmu ataupun aturan tentang penafsiran teks, atau sebagai metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan, tetapi sebagai eksplisitasi eksistensi manusia itu sendiri. Heidegger berpendapat bahwa “penafsiran” dan “pemahaman” merupakan modus mengada manusia. Dengan demikian, hermeneutika Dasein dari Heidegger, terutama selama berupaya merumuskan ontologi dari pengertian, jugalah merupakan hermeneutika. Ia merumuskan metode khusus hermeneutika untuk menafsirkan Dasein secara fenomenologis.
Hans-Georg Gadamer mengembangkan implikasi lebih jauh dari hermeneutika Haidegger di dalam sebuah karya sistematik, yang berjudul “Philosophical Hermeneutics”(Truth and Method). Di dalam buku itu, ia merunut perkembangan hermeneutika secara detil mulai dari Schleiermacher, Dilthey, sampai pada Heidegger. Akan tetapi, Truth and Method lebih dari sekedar sejarah hermeneutika, melainkan juga sebuah upaya untuk mengkaitkan hermeneutika dengan estetika, dan juga sebuah refleksi filsafat “pemahaman sejarah” (historical understanding). Ia juga menjabarkan kritik Heidegger terhadap hermeneutika, dan kemudian merumuskan konsep “kesadaran yang bergerak dalam sejarah”, seperti yang pernah juga dirumuskan oleh Hegel, bahwa penafsiran bergerak secara dialektis bersama sejarah, dan kemudian ditampilkan di dalam teks.
Gadamer dan Heidegger mengangkat hermeneutika sampai pada level “linguistik”, di mana Ada sesungguhnya hanya dapat dimengerti melalui bahasa. Hermeneutika adalah pertemuan sang penafsir dengan Ada melalui bahasa. Dengan demikian, mereka memberikan arti lain bagi kata hermeneutika, yakni sebagai problem filosofis tentang relasi antara bahasa dengan Ada, pemahaman manusia, sejarah, eksistensi, dan realitas. Hermeneutika pun ditempatkan sebagai salah satu refleksi filsafat yang cukup sentral dewasa ini, yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat ontologis maupun epistemologis, karena proses manusia memahami itu sendiri adalah persoalan ontologis dan epistemologis.
Sistem Interpretasi
Paul Ricoeur mau mendefinisikan hermeneutika dengan kembali pada analisis tekstual, yang memiliki konsep-konsep distingtif serta sistematis. “Yang saya maksudkan dengan hemeneutika,” demikian tulis Ricoeur, “adalah peraturan-peraturan yang menuntun sebuah proses penafsiran, yakni penafsiran atas teks partikular atapun kumpulan tanda-tanda yang juga dapat disebut sebagai teks…”[9] Psikoanalisis, terutama dalam tafsir mimpi, jelas merupakan proses hermeneutika. Semua aspek tentang hermeneutika ada di sana. Mimpi menjadi teks. Teks tersebut mempunyai berbagai bentuk simbol, dan sang analis akan menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menafsirkan dan mengungkapkan makna yang tersembunyi. Dalam konteks ini, hermeneutika adalah suatu cara untuk menangkap makna yang masih bersifat implisit di dalam mimpi, dan yang sesungguhnya mempunyai arti penting. Obyek dari penafsiran, yakni teks dalam arti seluas-luasnya, juga bisa merupakan simbol yang terdapat di dalam mimpi, simbol yang terdapat pada sebuah tulisan, ataupun di dalam masyarakat itu sendiri.
Ricoeur membedakan dua macam simbol, yakni simbol univokal dan simbol ekuivokal. Simbol univokal adalah simbol dengan satu makna, seperti pada simbol-simbol logika. Sementara itu, simbol ekuivokal, yang merupakan perhatian utama dari hermeneutika, yang simbol yang memiliki bermacam-macam makna. Heremeneutika haruslah berhadapan dengan teks-teks simbolik, yang memiliki berbagai macam makna. Hermeneutika juga haruslah membentuk semacam kesatuan arti yang koheren dari teks yang ditafsirkan, dan sekaligus memiliki relevansi lebih dalam serta lebih jauh untuk masa kini maupun masa depan. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan sebuah sistem penafsiran, di mana relevansi dan makna lebih dalam dapat ditampilkan melampaui sekaligus sesuai dengan teks yang kelihatan.
Upaya untuk menemukan makna tersembunyi di dalam mimpi, ataupun di dalam “simbol” yang tampak tidak berkaitan satu sama lain menunjukkan satu hal, yakni bahwa realitas yang tampak di depan mata kita ini sesungguhnya tidaklah dapat dipercaya. Freud memberikan sumbangan yang penting sekali tentang hal ini. Ia mengajarkan kepada kita untuk tidak begitu saja percaya terhadap apa yang kita sebut sebagai pengetahuan sebagai hasil dari kesadaran. Dengan bertitik tolak dari situ, ia pun mengajak kita untuk menghantam semua bentuk mitos dan ilusi, yang mungkin selama ini telah kita pahami sebagai pengetahuan hasil dari kesadaran. Salah satu yang ingin ditunjukkan Freud adalah agama sebagai mitos dan ilusi manusia. Agama adalah ilusi orang-orang yang tidak dewasa. Dalam hal ini, fungsi hermeneutika kritis Freud bersifat kritis.
Berbagai bentuk cara penafsiran yang dapat dilakukan manusia itulah yang mendorong Ricoeur untuk merumuskan dua macam bentuk hermeneutika, yakni yang pertama hermeneutika sebagai upaya penafsiran untuk menangkap makna tersembunyi di dalam suatu teks ataupun simbol, dan kedua, hermeneutika sebagai cara untuk bersikap kritis dan kemudian menghancurkan semua bentuk ilusi ataupun kesadaran palsu, yang mungkin muncul akibat simbol-simbol atau teks tertentu. Bentuk kedua ini disebut juga sebagai hermeneutika “demistifikasi”. Ia kemudian menunjuk beberapa pemikir, yang dianggapnya sebagai filsuf demistifikasi, yakni Nietzsche, Freud, dan Marx. Ketiga orang ini berpendapat, bahwa realitas yang tampak di depan mata kita itu palsu dan menindas. Mereka kemudian merumuskan sebuah alternatif berpikir untuk membuka dan melawan kepalsuan tersebut, karena kepalsuan tersebut memiliki ekses-ekses yang menghambat kehidupan manusia. Mereka juga mengganggap agama sebagai salah satu bentuk mitos dan ilusi, yang harus dikupas dan dilawan. Cara berpikir yang benar adalah cara berpikir yang selalu memandang sesuatu secara kritis, yakni dengan penuh kecurigaan dan keraguan. Dengan cara berpikir seperti itu, perubahan sosial ke arah pembebasan manusia dapatlah diwujudkan. Penafsiran yang mengarahkan dirinya pada arah pembebasan. Ini adalah suatu bentuk hermeneutika yang baru.
Dengan begitu banyak metode yang dapat digunakan di dalam hermeneutika, Ricoeur berpendapat bahwa tidak ada satu bentuk norma universal di dalam penafsiran manusia, melainkan teori-teori yang terpisah, dan saling berdebat satu sama lain.[10] Akan tetapi, setidaknya ada dua bentuk besar dari metode hermeneutika ini. Di satu sisi, ada para penafsir yang melihat teks dan simbol sebagai sesuatu yang sakral, dan berupaya untuk menafsirkan yang sakral tersebut untuk menemukan makna yang tersembunyi di baliknya. Di sisi lain, ada para penafsir yang bahwa simbol dan teks adalah sebuah realitas yang palsu, yang harus dikupas struktur-struktur menindasnya.
Penafiran Ricoeur atas teks-teks Freud sendiri adalah suatu bentuk penafsiran kreatif yang mengagumkan. Ia membaca Freud, menafsirkannya, dan menemukan relevansinya bagi kehidupan masa kini maupun untuk masa depan. Ia mau merumuskan suatu bentuk hermeneutika, di mana rasionalitas dalam bentuk keraguan dan kecurigaan dapat dipadukan dengan interpretasi reflektif untuk menemukan makna tersembunyi di balik teks ataupun simbol tertentu. Sekarang ini, filsafat banyak berupaya menafsirkan bahasa. Hermeneutika, seperti yang telah disintesakan oleh Ricoeur, ditantang untuk menafsirkan bahasa secara kreatif tanpa terjatuh mengganggapnya sebagai sesuatu yang sakral, ataupun melulu dicurigai sebagai ilusi atau mitos yang menindas.
Menafsirlah secara kreatif!
Daftar Pustaka
Richard E. Palmer, Hermeneutics, Northwestern University Press, 1969.



[1] Lihat, Richard E. Palmer, Hermeneutics, Northwestern University Press, 1969, hal. 33.
[2] Ibid, hal. 34.
[3] Ibid, hal.35.
[4] Primitive Culture, hal. 319, dalam Palmer, ibid.
[5] Spinoza, Tractatus theologico-politicus, bab 7, seperti dikutip Palmer, 1969.
[6] Palmer, 1969, hal. 39.
[7] Lihat, Kraus, hal. 93-102, dalam Palmer, 1969.
[8] Lihat Palmer,1969, hal. 40.
[9] Ibid, hal. 43.
[10] Ibid, hal. 44.