Epistemologi (Sebuah Tinjauan dalam Praksis Filsafat)

A. Pengantar
Cabang filsafat yang mempelajari hakikat, sumber dan validitas pengetahuan disebut epistemologi. Secara etimologi, istilah epistimologi berasal ari bahasa Yunani episteme artinya pengetahuan dan logos artinya teori (Tim Dosen Filsafat Ilmu FF UGM, 2007 : 32). Sebagai theory of knowledge atau salah satu cabang filsafat, epistimologi mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Apakah yang disebut benar?’ dan ‘Bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu?’ Lantaran fakta bahwa ia membahas isu-isu seperti bisa diandalkannya sebuah pengetahuan dan ketepatan berbagai metode untuk mencapai kebenaran yang pasti, maka epistemologi-bersama-sama metafisika terletak di pusat proses pendidikan.
B. Dimensi-dimensi Pengetahuan
1. Bisakah Realitas Diketahui?
Segala kebenaran maunya diketahui dan dinyatakan, dan juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak memerlukan hal itu, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku
(Paul Nartop)
Ungkapan di atas sengaja dikutip untuk menunjukkan bahwa esensi dari perjalanan filsafat pada dasarnya hanya untuk mencari kebenaran, sebuah usaha yang selalu membawa klaim-klaim dari pembawanya untuk menjadi valid dan dipakai setiap zaman. Namun demikian, hal itu tentu saja melalui berbagai pertarungan yang melampaui dimensi waktu dan tempat serta lokalitas pemikiran para filsuf. Dari pencarian kebenaran tersebut , tentu akan selalu ada mata rantai filsafat yang pada tataran praksisnya menjadi abadi, yaitu bentuk falsifikasi yang terejawantah pada tesis-antitesis, aksi-reaksi dan kontruksi-rekonstruksi atau dekonstruksi. Demikianpun dalam menjawab pertanyaan “Bisakah realitas diketahui” ? Ini adalah sebuah pertanyaan logis yang dengannya pengembaraan epistemologi dimulai karena ia menunjukkan kaitan erat antara epistemologi dan metafisika. Namun, sebelum masuk dalam upaya pencarian kebenaran dibalik pertanyaan itu, terlanjur melembaga sikap skeptisme dalam ruang kesadaran manusia. Skeptisisme di dalam pengertian yang sempit adalah sebuah pandangan yang mengklaim kalau mustahil untuk mencapai pengetahuan dan bahwa penyelidikan terhadap kebenaran sia-sia saja. Pemikiran ini diekspresikan dengan baik oleh Gorgias (483-376 SM), Sofis Yunani yang menegaskan bahwa tidak ada yang eksis, dan bahwa jika ada yang eksis, kita tidak bisa mengetahuinya.
Sebuah skeptisisme ekstrim akan membuat tindakan yang cerdas dan konsisten mustahil dilakukan. Sedangkan skeptisisme dalam pengertian lebih luas seringkali digunakan untuk mengacu kepada sikap mempertanyakan asumsi atau kesimpulan apapun hingga ia bisa tunduk kepada pengujian yang ketat. Sebuah istilah yang relatif dekat kaitannya dengan skeptisisme adalah agnositisisme. Agnostisisme adalah sebuah sikap yang mengabaikan atau menolak, khususnya terkait dengan eksis tidaknya Tuhan, lebih daripada penyangkalan positif pengetahuan apapun yang valid.
Padahal, manusia perlu “ber-Cagito Ergo Sum” dalam hidupnya menurut Rene Descartes. Persetubuhan ungkapan tersebut dengan perjalanan pemikiran para filsuf dari periode awal sampai pada periode kontemporer telah melahirkan berbagai “bayi” yang menjadi kesatria-kesatria perkasa pada jamannya dalam menemukan kebenaran meskipun bersifat hypo knowledge, termasuk dalam menemukan kebenaran dari pertanyaan esensial dalam ranah epistimologi dan metafisika “Bisakah realitas diketahui”. Untuk kepentingan ini, penulis akan menyajikan dua perspektif berbeda tentang realita yang lahir dari para filsuf yunani yaitu Plato dan Aristoteles.
Menurut Plato, realitas yang sesungguhnya adalah sebagaimana yang ada dalam dunia ide. Pernyataan ini berangkat dari penerimaan dia terhadap semesta yang dualistik seperti yang diyakini oleh phithagorean”. Menurutnya, setiap objek di dunia fisik memiliki “ide” atau “bentuk “ abstrak yang menyebabkannya. Misalnya ide abstrak tentang kursi berinteraksi dengan materi untuk menghasilkan sesuatu yang kita namakan kursi. Ide pohon berinteraksi dengan materi untuk membentuk apa yang kita namakan pohon. Semua objek fisik memiliki asal-usul seperti itu. Ide murni atau esensi dari benda-benda ini eksis secara independen dari materi, dan sesuatu akan hilang ketika diterjemahkan kedalam materi. Karenanya, jika kita berusaha mendapatkan pengatahuan dengan memeriksa benda-benda yang kita rasakan dan alami lewat indera, kita akan tersesat. Informasi inderawi hanya menghasikan opini, ide abstrak itu adalah satu-satunya basis dari pengetahuan yang benar.
Tetapi bagaimana kita mendapatkan informasi tentang ide jika kita tidak bisa mengalaminya melalui indera ? Plato mengatakan kita mengalaminya melalui “mata pikiran”. Kita mengarahkan pikiran kedalam dan merenungi apa-apa yang ada dalam diri kita. Semua pikiran manusia mengandung pengetahuan lengkap tentang semua ide yang membentuk dunia. Dalam pandangan yang kompleks ini, terlihat bahwa Plato sedikit mistis. Karena ide itu telah diterima oleh jiwa sebelum dimasukkan ke tubuh pada saat kelahiran. Jadi semua jiwa manusia mengatahui segala sesuatu sebelum masuk ke tubuh. Lebih lanjut Plato menjelaskan, jika manusia menerima apa-apa yang mereka alami lewat indera sebagai kebenaran, mereka hanya sampai pada opini dan ketidak tahuan. Hanya dengan cara mengalihkan perhatian dari dunia fisik yang tak murni kedunia ide, merenunginya dengan mata pikiran (berpikir/bercagito maksudnya), barulah kita bisa berharap mendapatkan kembali pengetahuan sejati kita. Jadi semua pengetahuan adalah reminiscence (kenangan) atau innate ideas (ide bawaan) dari pengalaman jiwa kita saat berada “di langit di atas langit “ (Matthew H. Olson, 2008 : 33).
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam perpektifnya Plato “realitas” dapat diketahui melalui ide dan proses berpikir yang baik (memanfaatkan rasio). Sedangkan menurut Aistoteles “realitas” dapat diketahui melalui pengalaman empiris dan proses berpikir. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa informasi inderawi dan penalaran adalah basis dari semua pengetahuan. Termasuk pengetahuan tentang realitas.
2. Kebenaran, Relatif ataukah Absolut?
Apakah semua kebenaran bisa berubah? Mungkinkah kebenaran hari ini bisa menjadi kekeliruan di hari esok? Kebenaran yang akan menjawab ya kepada pertanyaan pertama disebut bersifat relatif. Kebenaran Absolut mengacu kepada kebenaran yang secara abadi dan universal, benar tak peduli waktu atau tempatnya: Jika terdapat jenis Kebenaran ini di alam semesta, maka tentunya akan banyak membantu kita untuk menemukannya dan menempatkannya di pusat kurikulum sekolah.
Jadi pada dasarnya kebenarannya itu bersifat relatif, meskipun pada ranah tertentu seperti ranah agama “kebenaran” bersifat obsolut. Nietzsche misalnya, memandang kebenaran semacam kesalahan, dimana tanpa kebenaran spesies makhluk hidup tentu tidak dapat hidup, karena kebenaran adalah sesuatu yang tidak bermakna. Kebenaran bagi Nietzsche adalah suatu metafor. Disamping itu, Nietzche juga mengatakan bahwa kebenaran pandang dari sudut perasaan adalah sesuatu yang secara kuat menggugah perasaan (ego), dari sudut pandang pikiran, kebenaran adalah sesuatu yang memberikan pikiran perasaan paling agung akan kekuatan. Sementara dari sudut sentuhan, penglihatan dan pendengaran kebenaran adalah sesuatu yang mengandung resistensi paing besar (Listiyono Santoso, 2006 : 65).
Dari pandangan semacam ini, dapat dipahami bahwa Nietzsche tidak memberi tempat dalam filsafatnya suatu pemikiran obsolutisme dalam pencarian kebenaran. Selain itu, ia juga tidak menerima kebenaran sebagai suatu homologi melainkan sebagai paralogi. Kebenaran itu tidak satu melainkan banyak.
3. Pengetahuan, Subjektif ataukah Objektif?
Pertanyaan ini terkait erat dengan relativitas kebenaran. Van Cleve Morris mencatat kalau ada tiga pandangan dasar mengenai objektivitas pengetahuan. Pertama, beberapa orang yakin kalau pengetahuan adalah sesuatu yang datang kepada kita dari ‘luar’ dan disisipkan ke dalam pikiran dan sistem saraf kita dengan cara yang mirip dengan bijih besi dimuat ke dalam kapal. Kedua, yang lain berpendapat kalau subjek yang mengetahui mengkontribusikan sesuatu di dalam keterlibatan dirinya dengan dunia dengan suatu cara yang sebagian bertanggung jawab bagi struktur pengetahuannya. Ketiga, kita eksis sebagai ‘subjek murni’ yang menjadi pencipta dan pemabrik kebenaran dan bukannya sekedar resipien atau partisipan kebenaran.
Untuk memahami realitas ini, ada baiknya dikemukakan beberapa pemikiran filsafat yang bersifat objektif dan subjektif dari beberapa tokoh filsafat abad pertengahan yaitu Karl Mark dan Hasan Hanafi. Dikalangan filsuf ke dua tokoh tersebut mewakili zamannya dalam pengembangan pengetahuan yang berkenaan dengan kritik terhadap realitas sosial yang dianggap menyimpang dan tidak berkeadilan. Mark dianggap terlalu subjektif ketika menawarkan metode materialisme dialektika yang menjadi salah satu ciri dari faham komunisme. Kelahiran metode materialisme dialektika ini tidak lepas dari situasi subjektif Mark sendiri. George Ritzer dalam bukunya Sosiological Theori (2008 : 50) menyebutkan bahwa Karl Mark lahir di Trier, Prusia pada tanggal 5 Mei 1818. Ayahnya seorang pengacara, memberikan nuansa kelas menengah pada keluarganya. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga rabi, namun karena alasan bisnis ayahnya berganti agama menjadi lutherian ketiak Karl Mark masih sangat muda. Kondisi awal ini yang kemudian berpengaruh kuat terhadap unsur subjektivitas dalam pemikiran mark. Dalam perkembangan selanjutnya, subjektivitas pemikiran mark semakin berkembang ketika Mark memperoleh gelar doktor filsafat pada Universitas Berlin, sekolah yang dipengaruhi oleh pemikiran Hegel.
Sedangkan, Hasan Hanafi dianggap objektif dalam melakukan pembacaan ulang terhadap fenomena masyarakat islam yang terlalu menjadikan barat sebagai model yang obolut. Objektivitas Hhasan Hanafi terletak pada asumsi yang digunakannya yang dilandasakn pada riset bukan dilandaskan pada fakta semata. Hal ini nampak dalam kajian akan hal itu melalui pendekatan oksidentalismenya.
4. Adakah Pengetahuan yang Independen dari Pengalaman Manusia?
Pertanyaan ini adalah dasar bagi epistemologi dan bisa dilihat dengan cara terbaik menurut pengetahuan yang sifatnya aprioris dan aposterioris. Pengetahuan aprioris mengacu kepada kebenaran yang diklaim sejumlah pemikir sebagai kebenaran yang dibangun ke dalam jejaring realitas. Pengetahuan ini independen dari manusia yang mengetahuinya dan benar entah manusia tahu dan menerimanya atau tidak. Jenis kebenaran yang seperti ini disebut-sebut eksis sebelum manusia memiliki pengalaman dan independen dari kesadaran manusia. Contoh tentang pengetahuan aprioris adalah rasio yang eksis di antara keliling dan diameter sebuah lingkaran (π).
C. Sumber-sumber Pengetahuan
1. Indera
Empirisisme adalah pandangan yang menyatakan kalau pengetahuan diperoleh melalui indera, bahwa manusia membentuk gambar dunia di sekitar mereka dengan melihat, mendengar, membaui, menyentuh dan mengecap. Pengetahuan empiris dibangun sebagai hakikat dasar pengalaman manusia. Seseorang bisa saja keluar dari rumah di suatu hari yang cerah dan melihat keindahan pemandangan, mendengar nyanyian seekor burung, merasakan hangatnya sinar matahari, dan membaui harum bunga yang sedang mekar. Dia ‘tahu’ kalau itu musim semi karena pesan-pesan yang diterimanya lewat indera.
Kehadiran data inderawi tidak bisa disangkal. Sebagian besar manusia di abad duapuluh menerimanya sebagai nilai dasar perepresentasian ‘realitas’. Bahaya tersembunyi di dalam penerimaan naif dari pendekatan ini adalah indera-indera kita sudah terbukti tidak lengkap dan tidak bisa diandalkan. Contohnya, kebanyakan orang sudah dikonfrontasikan oleh sensasi dari melihat tongkat yang terlihat bengkok ketika separuhnya dimasukkan ke dalam air, namun terlihat lurus saat ditarik keluar.
Manusia sudah menemukan instrumen-instrumen ilmiah untuk memperluas jangkauan indera ini, namun mustahil untuk memastikan persisnya validitas instrumen-instrumen tersebut karena kita tidak tahu efek total pikiran manusia dalam merekam, menginterpretasikan dan mendistorsi persepsi inderawi. Keyakinan pada instrumen-instrumen ini dibangun di atas teori-teori metafisik spekulatif yang validitasnya diperkuat oleh eksperimentasi yang di dalamnya prediksi-prediksi sudah diverifikasi berdasarkan sebuah konstruk teoritis.
Singkatnya, pengetahuan inderawi dibangun di atas asumsi-asumsi yang harus diterima oleh iman dengan mengandalkan mekanisme-mekanisme inderawi kita sendiri.
2. Pewahyuan
Pengetahuan yang diwahyukan sudah menjadi sangat penting di bidang agama. Ia berbeda dari semua sumber pengetahuan lain lantaran mengasumsikan sebuah realitas supranatural yang transenden menguasai tatanan alamiah. Pewahyuan adalah cara Tuhan berkomunikasi tentang kehendak ilahiah. Kebenaran yang diperoleh melalui sumber ini diyakini bernilai absolut dan tak terkontaminasi oleh kelemahan manusia. Di sisi lain, kebenaran yang tersingkap tersebut bisa saja terdistorsi oleh proses interpretasi manusia itu sendiri sehingga kita bisa melihat setiap agama memiliki mazhab fikir yang berbeda-beda untuk membaca dan memahami kaidah-kaidah tertentu keagamaan mereka.
3. Otoritas
Pengetahuan otoritatif diterima sebagai benar karena datang dari para ahli atau sudah disakralkan di periode waktu tertentu sebagai sebuah tradisi. Otoritas sebagai sumber pengetahuan memiliki kelebihan sekaligus bahaya. Peradaban tentu akan terjebak dalam kondisi stagnasi jika setiap individu tidak bersedia menerima pernyataan apapun melalui pengalaman langsung secara pribadi kecuali sudah diverifikasi oleh otoritas ahli. Padahal banyak revolusi ilmu lahir dari penelitian yang disebut ‘menyimpang’ dari tradisi, tapi justru membuka jalan baru menuju pengetahuan yang lebih baik dan menyeluruh.
4. Rasio
Pandangan bahwa penalaran, berpikir atau logika adalah faktor utama di dalam pengetahuan dikenal sebagai rasionalisme. Para rasionalis, yang menekankan kekuatan berpikir manusia dan kontribusi pikiran bagi pengetahuan, cenderung mengklaim kalau indera saja tidak bisa menyediakan bagi kita penilaian-penilaian yang secara universal valid, apalagi yang konsisten satu sama lain.
Rasionalisme , dalam bentuknya yang kurang begitu ekstrim, mengklaim kalau manusia memiliki kekuatan untuk mengetahui dengan pasti berbagai kebenaran tentang alam semesta yang tidak sanggup disediakan oleh indera saja? Contohnya, jika x sama dengan y dan y sama dengan z, maka x sama dengan z. Memungkinkan bagi kita untuk mengetahui bahwa pernyataan itu benar, terlepas dari contoh atau pengalaman aktual apapun entah diaplikasikan pada kotak, segitiga atau objek lain di alam semesta. Sistem-sistem logika seperti ini memiliki keuntungan dasar berupa memiliki konsistensi internal, namun mereka menghadapi rentan terhadap bahaya tidak berkaitan sama sekali dengan dunia eksternal.
D. Intuisi
Pemahaman langsung terhadap pengetahuan yang tidak dihasilkan dari penalaran sadar atau persepsi indera bermediasi disebut intuisi. Di dalam literatur yang menggunakan intuisi, kita sering menemukan ungkapan seperti “merasakan langsung kepastian” dan “imajinasi yang menyentuh dengan penuh keyakinan”. Intutisi muncul di bawah ‘ambang kesadaran’. Ia sering dialami sebagai ‘kilatan mendadak sebuah pemahaman’.
Kelemahan atau bahaya dari intuisi adalah ia tidak bisa dijadikan sebagai sebuah metode yang aman untuk memperoleh pengetahuan ketika digunakan sendiri. Ia bisa menyembul keluar sangat mudah dan bisa memimpin kita menuju klaim-klaim yang absurd kecuali ia dikontrol atau diperiksa oleh metode-metode mengetahui yang lain.
Sifat Saling-Melengkapi Sumber-sumber Pengetahuan
Tidak ada sumber pengetahuan yang menyediakan manusia dengan semua pengetahuan. Berbagai sumber mestinya dilihat dalam suatu hubungan yang saling melengkapi dan bukannya sebagai antagonisme.
D. Validitas Pengetahuan
Bagaimana seseorang bisa mengatakan kalau beberapa keyakinan benar sedangkan yang lain keliru? Kriteria apa yang bisa digunakan? Dapatkah manusia merasa pasti kalau kebenaran memang sudah ditemukannya? Kesepakatan universal juga harus dicurigai karena bisa jadi mereka yang bersepakat kala itu memiliki kelemahan inheren yang sama. Para filsuf kebanyakan mengandalkan tiga jenis tes kebenaran berikut: teori korespondensi, teori koherensi dan teori pragmatis.
1. Teori Korespondensi
Teori korespondensi adalah sebuah tes yang menggunakan kesepakatan dengan ‘fakta’ sebagai standar penilaian. Menurut teori ini, kebenaran adalah keyakinan terhadap realitas objektif. Contohnya, pernyataan “Ada seekor singa di ruang kelas” bisa diverifikasi oleh penyelidikan empiris. Jika sebuah penilaian berkaitan dengan fakta-fakta, maka ia benar; kalau tidak, maka ia keliru. Tes kebenaran ini seringkali dianut oleh mereka yang bekerja di dalam ilmu pengetahuan.
Para pengkritik teori korespondensi mengajukan tiga keberatan berikut. Pertama, mereka bertanya: “Bagaimana mungkin kita bisa membandingkan ide-ide kita dengan realitas karena kita hanya bisa mengetahui pengalaman kita sendiri dan tidak bisa keluar dari pengalaman tersebut agar kita bisa membandingkan ide-ide kita tersebut dengan realitas dalam kondisinya yang ‘murni’? Kedua, mereka mencatat kalau teori korespondensi nampaknya mengasumsikan kalau data indera kita jelas, tegas dan akurat, padahal justru data inilah yang paling rawan bias. Dan ketiga, kritikan menyoroti kalau teori korespondensi tidak adekuat karena kita memiliki ide-ide yang tidak memiliki eksistensi kongkrit di luar wilayah pikiran manusia yang dengannya kita dapat melakukan sejumlah pembandingan.
2. Teori Koherensi
Teori ini meletakkan kebenaran di dalam konsistensi atau harmoni dengan semua penilaian. Menurut tes koherensi, sebuah penilaian benar jika ia konsisten dengan penilaian-penilaian lain yang sebelumnya diterima sebagai benar.
Kritikan terhadap pendekatan koherensi adalah sistem-sistem berpikir yang keliru bisa saja konsisten secara internal dengan sistem-sistem berpikir yang benar. Karena itulah, mereka mengklaim kalau suatu teori disebut keliru kalau tidak bisa memilahkan antara kebenaran yang konsisten dan kekeliruan yang konsisten.
3. Teori Pragmatis
Kaum pragmatis melihat tes kebenaran di dalam kemanfaatannya, bisa dipergunakannya, atau konsekuensi yang memuaskan darinya. Di benak John Dewey dan William James, kebenaran adalah apa yang bisa efektif dilakukan.
E. Epistemologi dan Pendidikan
Epistemologi, seperti metafisika, merupakan basis dari pikiran dan aktivitas manusia. Sistem-sistem pendidikan berurusan dengan pengetahuan dan karenanya, epistemologi menjadi penentu utama keyakinan dan praktik pendidikan. Epistemologi memberikan pengaruh langsung kepada pendidikan dengan banyak cara. Contohnya, asumsi-asumsi tentang pentingnya beragam sumber pengetahuan bisa tercermin dari penitik-beratan kurikulum.
Di titik ini, sudah sangat jelas kalau manusia ditarik di antara dua kutub, metafisika dan epistemologi. Meskipun studi tentang pertanyaan-pertanyaan mendasar, manusia tetap didorong untuk menyadari kecil dan tak berdayanya ia di alam semesta. Dia harus menyadari kalau tak ada apapun yang bisa diketahui dengan pasti dalam artian memiliki bukti final dan ultimat, melainkan semua pengetahuan selalu terbuka dan bisa saja ditolak atau diterima oleh semua orang. Penerimaan terhadap suatu pandangan tertentu di dalam metafisika dan epistemologi lebih mirip ‘pilihan-iman’ yang dibuat individu, dan di dalamnya terkandung sebuah komitmen kepada suatu jalan hidup tertentu.
Kesimpulan dari dilema metafisik-epistemologis ini adalah semua manusia hidup oleh iman berdasarkan keyakinan dasar yang sudah mereka pilih. Individu yang berbeda pasti membuat pilihan-iman yang berbeda di dalam kontinum metafisik-epistemologis dan karenanya memiliki beragam pandangan filosofis. Sisa buku ini akan menguji implikasi-implikasi pendidikan dari pilihan-pilihan filosofis yang berbeda tersebut.

1 Response to "Epistemologi (Sebuah Tinjauan dalam Praksis Filsafat)"

  1. Anonim Says:
    3 Mei 2010 pukul 00.29

    lengkap banget ni materinya./.
    referensinya dari mana y kalau boleh tau?

Posting Komentar