Filsafat

Spiritualitas TradisionalismeVis A Vis Nalar Modernisme
Oleh Yusuf Suyono*
Kata Kunci: zamkaniy, empiris, perenialisme, filsafat
Pendahuluan
Garis besarnya, pembagian era sejarah kebudayaan Islam yang sudah
lazim dimaklumi ada tiga, yaitu era klasik (sejak era Rasulullah sampai
dengan abad tiga belas tepatnya tahun 1258 M –ditandai dengan
pencaplokan Baghdad oleh Hulaku), era pertengahan sejak tahun itu
sampai tahun seribu delapan ratusan, dan era modern yaitu sejak tahuntahun
delapan ratusan sampai dengan sekarang. Dilihat dari klasifikasi
tersebut, maka dunia Islam sekarang ini termasuk dunia pemikirannya
ada di era modern. Suka atau tidak, lazimnya sikap dunia Islam termasuk
para pemikir Muslim –secara realistis- harus menerima modernitas yang
menjadi ruh era modern. Apakah jalan pikiran sederhana itu menemukan
muara jawaban positifnya?. Jawaban terhadap pertanyaan sederhana
tersebut ternyata tidak, karena ada tipe pemikir Muslim yang selalu
berdiri dengan sikap pasang kuda-kuda terhadap modernisme, Seyyed
Hossein Nasr untuk menyebut salah satu contohnya.
Menurut Osman Bakar –pakar filsafat Islam dari Malaysia- trend
filsafat Islam kontemporer terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama , filsafat
Di tengah gencarnya kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, dalam mana Dunia Islam tertinggal
sekian kali lipat dibandingkan Dunia yang dihuni
pemeluk agama lain, masih ada kalangan Muslim
yang menawarkan spiritualitas. Relevankah? Bagi
para advokatnya, hal itu sangatlah relevan, karena
ketertinggalan Dunia Islam dikarena.kan
mengabaikan sisi spiritualitas itu, sedangkan bagi
lawan mereka, tawaran kaum tradisionalis
tersebut tidaklah relevan bahkan terkesan absurd.
Hal itu dikarenakan spiritualitas itu hanyalah
bersifat kuratif terhadap akses penguasaan ilmu
dan teknologi. Usaha dari masing-masing
kalangan perlu diapresiasi, karena bertujuan
menjadikan Ialam sebagai ajaran yang zamkaniy.
Yang berbeda di antara mereka hanyalah
metodenya
244 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
Islam tradisionalisme yakni filsafat klasik yang dihidupkan kembali dalam
konteks zaman modern. Filsafat ini sangat memperhatikan masalahmasalah
perubahan zaman dan perkembangan-perkembangan
kontemporer. Di antara tokoh-tokoh utamanya adalah Seyyed Hossein
Nasr dan Seyyed Naquib al-Atas. Kedua tokoh ini dikenal luas
formulasinya menghidupkan filsafat Islam kontemporer yang berlandaskan
ilham utama filsafat Islam klasik. Filafat ini lebih banyak dipengaruhi
pemikiran tasawuf. Keduanya menulis dalam bahasa Inggris karena sasaran
utamanya adalah pembaca Muslim yang datang dari latar belakang
pendidikan sekuler. Masuk ke dalam kelompok ini adalah para pemikir
Iran seperti Muthahari, Baqir Sadr bahkan sangat mungkin juga Imam
Khomeini. Kedua adalah aliran filsafat yang diwakili oleh pemikir-pemikir
modernis. Tokoh utamanya adalah Fazlur Rahman yang tesis utamanya
adalah metode modern seperti di Barat, walaupun ia juga memakai
beberapa metode klasik untuk menjawab beberapa persoalan modern yang
dihadapinya. Dimensi tasawuf kurang mewarnai pemikiran Rahman.
Termasuk ke dalam kelompok ini adalah al-marhum Ismail Raj’i al-Faruqi.
Ketiga adalah aliran yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran
modern tetapi tetap menghubungkan pemikiran tersebut dengan Islam.
Aliran ini banyak dipengaruhi oleh pemahaman Marxisme dan Sosialisme.
Tokoh aliran ini adalah mengharmonisasikan Islam dengan Marxisme
khususnya setelah pengaruh Marxisme merosot. Mereka beruaha mencari
jalan bagaimana pemikiran Marxisme bisa mendapat justifikasi Islam,
dan bagaimana Islam dapat mengantisipasi ide-ide Marxisme.1
Dalam tulisan ini, fokus perhatian diarahkan pada model pertama
yaitu tradionslisme yang tokoh utamanya adalah Seyyed Hossein Nasr.
Tradisionalisme
Diskursus tradisionalisme di tulisan ini adalah tradsionalisme ala
Seyyed Hossein Nasr dimana dia adalah advokatnya yang paling
menonjol. Tradisi –menurut Nasr- berarti al-Dîn dalam pengertian seluasluasnya,
yang mencakup semua aspek agama dan cabang-cabangnya; bisa
juga disebut al-Sunnah yaitu apa yang sudah menjadi tradisi sebagaimana
dipahami secara umum kata-kata tersebut; bisa juga diartikan al-Silsilah
yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode, episode atau tahap
kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada Sumber,
sebagaimana tampak pada Sufisme. Oleh karena itu, tradisi mirip sebuah
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 245
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
pohon yangt akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat ilahi
dan darinya tumbuh batang dan cabang-cabang sepanjang zaman. Di
jantung pohon tradisi itu berdiam agama,dan saripatinya terdiri dari
barakah yang, karena bersumber dari wahyu, memungkinkan pohon
tersebut terus hidup. Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang
langgeng, yang tetap, kebijaksanaan yang abadi, serta penerapan
bersinambung prinsip-prinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi
ruang dan waktu.2 Mengenai tradisi ini, Schoun, dalam Understanding
Islam yang dikutip Komaruddin Hidayat, mengatakan bahwa tradisi
bukanlah sebuah mitologi yang sudah kuno dan hanya untuk dan hanya
untuk mereka yang masih kanak-kanak sehingga tradisi menjadi sebuah
pengetahuan yang benar-benar riel.3
Dengan melihat muatan tradisi tersebut di atas, maka bisa dirinci
tiga ciri pemikiran tradisionalis sebagai berikut. Pertama, kaum
tradisionalis percaya –pada tingkat tertinggi atau tingkat transendaldapat
melihat suatu hakekat kebenaran dalam berbagai bentuk agama
dan tradisi yang diturunkan pada zaman yang berbeda, pada masyarakat
yang berbeda dan dalam bentuk bahasa yang berbeda pula. Walaupun
demikian, terdapat satu hakekat di balik agama-agama atau tradisi-tradisi
otentik yang dapat menyatukan pemahaman di tingkat transcendental.
Kedua, dalam setiap bentuk seni (art form), dalam tradisi ada prinsipprinsip
kebenaran dan keindahan. Setiap keindahan dalam masyarakat
tradisional atau agama-agama tradisional merujuk pada hakekat yang
sama. Ketiga, kaum tradisionalis percaya bahwa kebudayaan, pemikiran
dan peradaban modern adalah sudah tercemar, karena tidak berasaskan
prinsip kegamaan dan kerohanian, dan akhirnya memperlihatkan ciriciri
kejatuhan manusia.4
Ketercemaran modernisme sebagaiamana tergambar pada ciri ketiga
di atas, apalagi isme-isme yang dilahirkan , semunya menjadikan manusia
hanya sebagai ‘basyar’ bukan ‘insan’. Isma-isme tersebut antara lain adalah
sekularisme, reduksionisme, saintisme, dan sebagainya.
Kejelekan sekularisme, menurut Nasr, karena negasi dan
penyangkalannya terhadap yang sakral5 yang berasal dari ilahi serta
pemisahan antara manusia dan Tuhan (ontological separation between man
and God)6.
Selain sekularisme, gagasan reduksionisme yang juga merupakan
salah satu dari sekian karakteristik modernisme juga sangat bertentangan
246 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
dengan tradisionalisme tersebut di atas. Gagasan reduksionisme yang
menjadi sifat sains modern tergambar pada pereduksian ruh menjadi jiwa,
jiwa menjadi kegiatan biologis, kehidupan menjadi persoalan yang tidak
hidup, dan persoalan yang tidak hidup menjadi partikel-partikel
kuantitatif murni atau segumpal energi yang semua gerakannya dapat
diukur dan dihitung7.
Sementara saintisme menolak mempertimbangkan pandangan apapun
kecuali keilmuan sebagai pertimbangan serius dan menolak menerima
kemungkinan cara pengenalan lain apapun, seperti yang diterima melalui
wahyu misalnya. Saintismelah yang membuat pandangan agamais tentang
alam semesta sebagai hal yang tidak relevan secara intelektual, yang
pada gilirannya agama tereduksi hanya sebuah etika yang sangat
disubjektifkan dan persoalan saja. Saintismelah yang merusak realitas
spiritual yang senantiasa ada di sekeliling manusia dan telah menggeser
dari alam apa yang disebut “sunatullah”serta merusak gagasan dasar Islam
tentang fenomena alam sebagai tanda-tanda (ayat) kekuasaan Allah.8
Di tengah-tengah tumpukan distruksi-distruksi modernisme seperti
tersebut di atas, kaum tradisionalis –dalam tulian ini adalah Nasr- terus
tegar menawarkan ilmu-ilmu tradisional yang tetap terkait dengan asalusul
Ilahiyah ( Devine Origin ). Bagi mereka, sains modern ( Barat )
semenjak Renaissance telah mengalami proses sekulariasi yang jelas
bertentangan dengan seruan Islam tentang “al-‘ilm” secara tradisional.
Dengan demikian, watak dan karakter sains modern berbeda dengan
watak dan karakter sains Islam.9
Kata sains yang beratributkan modern masih berkonotasi pada
pengertian kata dalam bahasa Inggrisnya ‘science’, sebagaimana dikatakan
Nasr :
Science is understood as an ever-changing knowledge of the physical world
based on rationation and empiricism whereas tradition, as understood by
contemporary masters of the exposition of traditional doctrines…implies
immutability, permanence and knowledge of a principal and methaphysical
order.10
Dari kutipan itu bisa dilihat bahwa kata sains dari kata Inggris berbeda
dengan sains dalam pengertian tradisionalnya, yakni ketidak
berubahan,permanensi dan pengetahuan tentang tatanan prinsip dan
metapisikal. Disamping itu ada cirri-ciri lain and ilmu tradisional antara
lain adalah sakralitas, satu hal yang tidak dimiliki oleh sains modern.
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 247
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
Kata Nasr , “ one can also speak of sacred and profan science in distinguishing
between traditional and modern science “ 11. Di tempat lain, Nasr
mengatakan, “ The secularization of the cosmos was ….related to the
secularization of reason “ atau “ The desacralization of knowledge was related
directly to the desacraliztion of cosmos “.12
Salah satu mazhab sains tradisional adalah sains Islam. Mengenai
yang satu ini, Nasr -seperti yang dikutip Ziauddin Sardr- menyebut ciricirinya
sebagai berikut13 :
1. Untuk memikat hakekat ilmu Islam, adalah penting pertamatama
membedakan apa yang disebut ilmu Islam dengan aplikasinya yang
berbentuk teknologi bahkan dengan implikasi etis dari ilmu Islam.
2. Ilmu bisa disebut Islami harus merefleksikan dan mengacu kepada
keesaan (unitas) ; Ilmu Islam tidak boleh menyembunyikan hubungan
antara benda-benda di mana hubungan ini merupakan refleksi tingkat
keberagaman (multiplicity) dari keesan (unity) bahkan harus
menyingkapnya. Units juga hrus terrefleksikan dalam ilmu Islam apapun
melalui kesadarannya akan unitas sebagai prinsip Ilahi bukan saja sebagai
prinsip integrasi dan interrelasi.
3. Perhatian para pakar matematika abad ini pada simetri dan
keindahan matematis, yang hampir merupakan argumen saintifik, adalah
merupakan sebuah filsafat yang menyerupai aspek ilmu Islam ini kalau
ilmu Islam tidak selalu mengandung makna keselarasan dan keindahan
matematis dengan keindahan Tuhan dan melihat dalam keselarasan ini
adanya kesan kebijaksanaan yang didasarkan pada kesatuan (unitas) dan
keselarasan dengan demikian sangat dekat dengan perspektif Islam
walaupun bukan merupakan sumbernya.
4. Dalam Ilmu Islam, harus ada kesesuaian antara ilmu dan realitas.
Ilmu harus sesuai dengan satu atau beberapa aspek ontologism dari apa
yang digelutinya. Dia tidak boleh puas dengan model matematis yang
dapat memprediksi peristiwa-peristiwa dan menggambarkan fenomena
tetapi tidak sesuai dengan realitas fisiknya.
5. Ilmu yang berciri Islam haruslah bertujuan mempelajari hakekat
segala sesuatu atau tingkat realitas dalam arti ontologinya bukan hanya
aksiden dan fenomenanya yang terlepas dari substansi dan nomenanya.
6. hipotesa tidak pernah boleh salah karena ilmu –dalam konteks
Islam- selalu berarti kepastian. Dalam Islam, ada satu tempat bagi suatu
ilmu tentang tatanan pisik yang tumbuh dari strata yang kurang pasti
248 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
kepada yang lebih pasti, akan tetapi tipe ilmu yang tumbuh dari subjek
yang mengetahui kepada yang tidak diketahui ini, harus diletakkan lebih
rendah di bawah ilmu yang tertinggi, yakni ilmu yang berdasar kepastian
dan permanensi.
7. Tidak satupun ilmu bisa mengklaim dirinya ilmu Islam, bila hanya
mencari dan menyelidiki alam materi bebas dari tingkat eksistensi yang
lebih tinggi erta seolah-olah merupakan tatanan realitas yang bebas
tersendiri. Suatu ilmu juga tidak bisa disebut ilmu Islam, kalau tidak
lagi menyadari tingkat-tingkat kesadaran dan mode-mode pengetahuan.
8. Akhirnya, tanpa adanya hirarki, tidak ada yang bisa ilmu Islam,
betapapun pernyataan-pernyataan yang bagus telah dibuat untuk
mempelajari alam sebagai ciptan Tuhan.
Demikianlah ciri-ciri sains Islam menurut perspektif tradisionalisme
Seyyed Hossein Nasr yang memposisikan diri berseberangan secara
diametral dengan modernisme terutama aspek epistemologinya. Memang
tidaklah mengherankan kalau visi Nasr demikian, karena paradigma
beliau adalah paradigma varian pemikir Muslim yang menganggap Barat
dan modernisme di sana sebagai tantangan (challenge). Bahkan apa yang
dinamakan “globalisasi” -menurut dia- tidak ada, itu hanya permainan
Barat untuk memngukuhkan hegemoninya. Menurutnya, “ the colonial
period is supposed to be over, but there is a new form of colonialism which
always speaks in the name of global order, but which really does not mean
global order at all, because all of the globe has not been consulted “15 (masa
penjajahan diperkiraan udah berakhir, tetapi terdapat bentuk
kolonialisme baru yang selalu berbicara atas nama tatanan global, padahal
tidak berarti demikian sama sekali, karena seluruh dunia belum diajak
konsultasi). Lebih dari itu, tatanan global malah menghadirkan beberapa
persoalan yang pada gilirannya menjadi tantangan yang harus ditatap
oleh Dunia Islam. Tantangan-tantangan tersebut –menurut Nasr- adalah
berikut ini.
Krisis Lingkungan ( Environmental Crisis )
Meskipun tidak sepenting spiritualitas, tetapi sepenting yang lain
dari perspektif kelangsungan hidup adalah krisis lingkungan. Menurut
keyakinan Nasr, krisis lingkungan ini merupakan tantangan besar bagi
Duni Islam dan Islam sebagai agama. Tantangan-tantangan itu
sebagiannya pasti akan dihadapi oleh agama Islam, sebagiannya yang
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 249
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
lain akan dihadapi oleh kebudayaan Islam, sebagiannya oleh tanah dimana
kaum Muslimin hidup. Tantangan-tantangan itu bisa berbentuk ekonomi,
politik, social, dan juga spiritualitas maupun agama. Perlu disampaikan
–menurut Nasr lagi- bahwa sudah banyak konferensi-konferensi dimana
orang telah membicarakan tentang Hindu dan Lingkungan, Budha dan
Lingkungan, Kong Hu Chu dan Lingkungan, sudah barang tentu Kristen
dan Lingkungan dan sebagaimana, tetapi Dunia Islam masih adhemadhem
saja. Para pemikir Islam belum sepenuhnya menyadari tantangan
lingkungan bagi masa depan global, dan masa depan Dunia Islam sendiri.15
Tatanan Global ( Global Order )
Tantangan lain yang dihadapi Islam adalah pengatasnamaan
tatanan Barat menjadi tatanan Global. Itulah permaina paling licik dan
penting yang terjadi sekarang di dunia. Bagaimana diatasnamakan
tatanan global, sedangkan seluruh dunia (globe) belum pernah diajak
berkonsultasi. Coba lihat ide tentang ‘global village’. Siapa yang
menentukan bahwa dunia ini sebagai “a single village” (sebuah desa
tunggal)?. Bukan orang Malaisia, Persia, Arab, China, atau India; tetapi
seseorang di Barat yang menemukan bahwa seluruh dunia sudah diambil
alih. Ide pengatasnamaan pandangan dunia tertentu sebagai pandangan
dunia seluruhnya adalah tantangan terbesar yang harus dihadapi tidak
hanya oleh Dunia Islam saja tetapi juga oleh Dunia non-Barat lainnya.
Kata Nasr selanjutnya bahwa kita semua ingin memiliki benar-benar
Tatanan Dunia (Global Order) -bukan Tatanan Barat yang diatasnamakan
Tatanan Duania- dimana semua kebudayaan besar dunia saling
berkawan, bercinta kasih yang akan menciptakan tatanan yang global
(mendunia). Tatanan itu –menurut Nasr- tidak dan tidak akan pernah
ada sampai al-Mahdi nampak. Dalam tatanan dunia sesuai obsesi Nasr
tersebut terdapat intervensi Tuhan dalam sejarah.16
Post-Modernisme (Post-Modernism)
Yang disebut Post-Modernisme di Barat adalah dalam pengertian
perceraian, pemutusan dengan Modernisme. Itu –menurut Nasr- sebagai
pemecahan masalah dari bawah bukan dari atas. Yang ditentang kaum
tradisionalis di antaranya Nasr bukan seperti yang dipahami Barat.
Modernisme bukan hanya hidup dengan gaya, atau cara kontemporer.
Yang dimaksud modernisme atau moerna (dalam sebagian bahasa Eropa)
250 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
adalah memandang manusia sebagai makhluk bebas dari segala sesuatu
termasuk bebas dari Tuhan. Manusia adalah makhluk yang bebas berbuat,
tidak bertanggung jawab kepada otoritas apa dan siapa pun termasuk
Tuhan. Hal itu didasarkan pada humanisme tapi bukan humanisme
Islam atau Kristen, pada rasio dan rasionalisme sebagai criteria
pengetahuan yang tertinggi bukan wahyu. Modernisme model begitulah
yang telah berkembang sejak Descartes sampai Kiekergaard dan Neo-
Hegelians. Filsafat dan pandangan dunia seperti itu terus dikritik dari
dalam. lewat orang seperti Derrida yang berusaha mendekonstruksi secara
filosofis struktur-struktur pemikiran Barat modern, itulah postmodernisme.
Kata Nasr, memang ada segi positif dari postmodernisme ini yaitu
terkuaknya secara pertahap totalitarianisme modernisme di Barat dan
pada gilirannya membuka ruang baru dimana suatu hal lain bias
masuk.situ juga postmodernisme menguak doktrin-doktrin lain, credocredo
lain, bentuk-bentuk lain, dan juga ingin mengaplikasikan diri pada
sivilisasi lain di luar Barat, termasuk Dunia Islam.17
Sekularisasi Kehidupan ( The Secularisation of Life )
Sekularisasi agama Kristen di Barat berdampak negative juga pada
Dunia Islam. Hal itu dikarenakan sejak beberapa abad yang lalu dimana
Barat menguasai dan menjajah Dunia Islam, copy sekularisasi kehidupan
orang Kristen di Barat langsung menyebar di Dunia Islam.Ada hubungan
yang misterius dan harmonis antar berbagai agama. Ketika suatu agama
tumbang, maka akan terjadi suatu pengaruh pada agama lain. Ketika
terjadi sekularisasi etika Kristen seperti perkawinan dua orang sejenis
(lesbi ataupun homo) atau sodomi menjadi alternatif gaya hidup padahal
dulu-dulunya merupakan dosa terbesar dalam agama Kristen dan Yahudi,
maka akan berpengaruh pula pada pola hidup orang Islam di negaranya
yang dikuasai Barat, meskipun hegemoni Barat sekarang dalam bentuk
budaya tidak politik lagi.18
Krisis Sain dan Teknologi ( The Crisis of Science and Technology )
Melalui aplikasi sains dalam bentuk teknologi inilah Dunia Barat
bisa mendominasi dunia di berbagai bidang militer, ekonomi dan -sekarang
melalui media global tentunya- budaya. Untuk itu, kaum Muslimin tidak
seharusnya hanya mempelajari dan mendalami ilmu dan teknologi Barat
saja tetapi juga harus mempelajari dan mendalami kritisisme terhadap
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 251
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
ilmu dan teknologi tersebut dari kalangan Barat sendiri. Universitasuniversitas
Islam harus berusaha menjawab tantangan-tantangan yang
datang dari sain dan teknologi Barat tersebut dan demikian juga harus
memakai dan mempergunakan sumber-sumber tradisi Islam.19
Prenetrasi Nilai-Nilai non-Islam (Penetration of Non-Islamic Values)
Penetrasi itu terjadi melalui mega-media Barat. Dunia Islam menerima
informasi tentang hal-hal yang terjadi di dunia melalui media Barat.
Tempat-tempat kulakan berita yang disebarluaskan oleh media-media di
Dunia Islam semuanya berada di Barat. Reuters yang merupakan kantor
berita berpengaruh dalam membentuk pola pikir orang Islam mengenai
apa yang terjadi di dunia ini adalah ada di Inggris. Dia lebih berpengaruh
ketimbang agen-agen berita local. Almarhum Saddam Hussein untuk
melihat apa yang terjadi di negaranya mesti melihat CNN – saluran berita
yang ada di negara George W. Bush sang penghancur Iraq.20 Hal tersebut
di atas pada gilirannya akan membawa dampak-dampak lain seperti
terbentuknya image dan citra Islam dan kaum Muslimin yang tidak
menguntungkan.21 Bahkan timbulnya stigma negatif setiap kata Islam
dan Umat Islam karena berpengaruhnya sumber-sumber berita Barat yang
menguasai dunia itu.
Itulah sebagian tantangan-tantangan yang diakibatkan modernisme
Barat yang harus ditatap umat Islam. Masih ada tantangan-tantangan
lain seperti feminisme dan sikap terhadap budaya-budaya lain seperti
China, Jepang dan India serta budaya Afrika hitam non-Islam.
Bagi Nasr, pemikiran reaktif Dunia Islam terhadap Barat Modern
ada empat tipe : modernis, revivalis (fundamentalis), millenialis dan
tradisionalis.22 Tipe modernis berusaha menyajikan interpretasi dan
pemikiran Islam yang modernistik sehingga mampu mengakomodasi
gagasan dan ideologi Barat. Kelompok revivalis atau fundamentalis (versi
Barat –penulis), garis besar usahanya adalah peduli pada pemeliharaan
dan penghidupan kembali syari’ah, kemerdekaan sosial dan politik kaum
Muslimin serta menentang norma-norma sosial barat dan di sisi lain
menunujukkan sikap positif dan tidak peduli terhadap penetrasi sains
dan teknologi Barat, berbagai lembaga administrasi dan managerialnya
serta cara berpikir yang menyertai adopsi teknologi Barat. Pada tradisi
intelektual Islam, mereka juga mengabaikan kecuali jika hal itu berkaitan
langsung dengan keimanan, persoalan yuridis dan praktek ritual.
252 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
Sedangkan tipe millenialis keyakini bahwa ketertaklukan Dunia Islam
oelh Barat adalah menandakan datangnya peristiwa alam yang bersifat
eskatologis yang dalam hal ini hanya dapat dipecahkan oleh pertolongan
Allah melalui intervensi-Nya dalam sejarah. Tipe tradisionalis. Nasr sendiri
adalah terbilang kepada kelompok tradisionalis ini bahkan tokoh parexcellence
nya. Baginya, kelompok lain tidak akan memadai untuk menatap
tantangan-tantangan nalar modernisme Barat. Nasr menunjukkan
kelebihan kelompok tradisionalis dalam usahanya mencari jawab terhadap
tantangan nalar modernisme berdasar pada perspektif intelektual Islam
yang sesungguhnya. Mereka berusaha mengembalikan kehidupan menurut
prinsip-prinsip Islam untuk diterapkan pada kondisi-kondisi kemanusiaan
kontemporer tanpa reaksi emosional. Kelompok ini juga berusaha
memikirkan kembali fondasi-fondasi sains dan teknologi Barat dan
menghadapi tantangannya secara lebih mendalam. Mereka juga berusaha
mempertahankan dan menghidupkan kembali seni Islam beserta prinsipprinsipnya
yang telah tergerogoti akibat serangan modernisme Barat.23
Dalam karya-karyanya, Nasr berusaha menunjukkan betapa warisan
tradisi Islam bermakna sangat penting di dunia modern dan utamanya
dalam konfrontasinya melawan budaya Barat. Dia juga mencoba
menunjukkan bahwa betapa orang bisa menemukan keberuntungannya
dalam pengalaman kedekatannya dengan Tuhan (spiritualitas-penulis).
Gerakan-gerakan sufi berusaha menolong orang untuk mencapai
pengalaman ini.24 Penekanan dasar dalam Islam –lanjut Nasr- kesatuan
Tuhan, kesatuan kehidupan manusia, dan kemitraan antara Tuhan dan
manusia. Islam adalah agama komprehensif yang mencakup segala aspek
hidup. “ also a socio-political order, a world view and a way of life in which all
aspects of man’s physical, mental, and spiritual needs are considered and fulfilled
“ 25 ( Islam juga tatanan sosial politik, pandangan hidup dan cara hidup
dimana semua aspek kebutuhan manusia baik pisik, mental dan spiritual
diperhitungkan dan dipenuhi ).
Nasr sangat menekankan sisi pengalaman (experiential) dari agama.
Tidak mengherankan apabila dia sangat tidak mengakui subjectivism
Barat sebagaimana dikatakannya berikut ini :
Islam is a religion which rejects individualistic subjectivism. The most intelligible
material symbol of Islam, the mosque, is a building with a space in whichelements
of subjectivism have been eliminated. It is an objective determination of the
Truth, a crystal through which radiates the light of the Spirit. The spiritual ideal
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 253
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
of Islam itself is to transform the soul of the Muslim, like a mosque, into a
crystal refelectingthe Divine Light.26
(Islam adalah agama yang menolak subjectivisme individualistik. Simbol materi
terbesar yang bisa dipikirkan dalam Islam, masjid, adalah sebuah bangunan
yang memiliki ruang dimana unsur-unsur subjektivisme tereliminasi. Dia adalah
determinasi objektif dari Kebenaran, sebuah kaca yang mana melalui dia
cahaya Maha Jiwa dipancarkan. Cita-cita spiritual Islam sendiri bertujuan
mentransformasikan jiwa orang Muslim, seperti masjid, menuju atau masuk
sebuah kaca yang merefleksikan Cahaya Tuhan).
Dalam kutipan tersebut, didapatkan penekanan pada objektifitas
(objectivity), pengalaman (experience), pemurnian (purification) dan
transformasi seseorang, dan refleksi (reflection) murni dari Cahaya Tuhan.
Pertama, objektifitas (objectivity). Ini dijelaskan oleh Nasr ketika dia
menekankan bahwa sisi batin adalah merupakan sisi hakiki dari agama.
Agama memiliki aspek luar dan aspek dalam. Yang termasuk aspek luar
adalah doktrin, organisasi, dan tingkah laku. Doktrin telah diberikan
Tuhan dalam wahyu. Sisi luar agama bisa diketemukan dalam organisasi
umpamanya masjid dan seni. Islam tidak hanya melalui cara pengetahuan
untuk mendekat Tuhan, tetapi juga melalui cara seni yang dibuat
seseorang. Dengan demikian, orang bisa bisa memberi ekspresi pada
kesatuan materi dan kesatuan Tuhan dalam seni dan gedung bangunan
yang mereka buat. Tingkah laku adalah aspek lain yang bisa dilihat dari
agama. Syari’at membantu manusia untuk hidup sesuai dengan kehendak
Ilahi. Karena hukum mencakup semua aspek kehidupan, maka kehidupan
yang menyesuaikan diri dengan hukum berarti telah memberi tingkat
kesatuan hidup tertentu.
Kedua, Pengalaman. Karena tujuan Nasr yang utama adalah untuk
menunjukkan dari sisi luar agama ke sisi dalamnya, maka perhatian
utamanya adalah pengalaman (experience). Integrasi kehidupan yang
bisa dicapai dengan melaksanakan hukum harus diperdalam. Berdiri
sepanjang Syari’at adalah Thariqah, jalan kontemplatif, dimana bisa
dilalui seseorang untuk mendekat pada Tuhan dalam hidupnya. Da;lam
Islam, tidak ada pertentangan antara kehidupan aktif dan kehidupan
kontemplatif; kontemplasi juga merupakan cara orang bertahan hidup
dalam kehidupan ini. Perbuatan dan kontemplasi berjalam bersama, ilmu
dan amal sangat berhubungan karena Islam mencakup seluruh eksistensi.
Nasr sangat konsern pada bagian dalam kepercayaan, bagaiamana dia
254 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
dialami. Dia pergunaan kata mistisisme dalam makana orisinilnya yakni
“dalam hubungannya dengan misteri ilahi.” Atau ilmu dikombinasikan
dengan cinta yang jauh dari sifat irrasional; mistisisme menyinggung aspek
dalam dari agama wahyu dan ortodoks. Ia selalu menjamin jalan yang
ditunjukkan oleh agama itu.
Ketiga, tiap orang memerlukan jalan-jalan yang demikian untuk
memurnikan (to purify ) dan menstransformasikan ( to transform ) dirinya.
Keadaan manusia tidak harus seperti yang seharusnya. Yaitu tidak
sempurna. Kesalahan dasar manusia adalah memisahkan diri dari Tuhan;
manuisa telah jatuh ke keadaan disintegrasi dan jarak jauh dari asalnya
yang merupakan kesatuan dengan Tuhan. Untuk diyakini, bahwa
sebetulnya manusia tidak pernah bisa berpisah dari Tuhan, tetapi dia
menyadarinya. Itulah sebabnya, mengapa manusia tidak bisa mengalami
adanya kesatuan penuh dengan Tuhan.27
Dengan melihat paparan Nasr tentang spiritualitas tardisionalisme
yang mencakup bagaimana hubungan Tuhan, manusia dan alam ini, dapat
disimpulkan bahwa kesatuan hubungan ketiganya sangat kental sekali.
Alam dan manusia adalah dua entitas suci yang dinaungi keberkahan
ilahi, sehingga karir perjalanannya sakral tidak boleh sembarangan.
Berbeda dengan manusia Barat modern. Menurut Nasr, hampir semua
manusia Barat hidup di dalam alam dimana mereka jarang sekali bertemu
dengan orang-orang yang menempati level kesadaran yang lebih tinggi
atau lapisan yang lebih dekat kepada pusat eksistensi (Tuhan - penulis).
Oleh karena itu, hampir semua manusia Barat hanya menyadari tipetipe
tertentu dari tingkah laku manusia.28 Secara demikian, terlihat posisi
masing-masing manusia di alam ini. Manusia dalam pandangan
tradisionalisme adalah berbuat dan bekerja di alam ini dalam suasana
sakralitas kesatuan dengan ilahi. Karena, tradisi yang dimaksud dalam
tradisionalisme Nasr bukanlah kebiasaan, adat istiadat, atau penyampaian
ide-ide serta motif-motif secara otomatis dari suatu generasi kepada
generasi selanjutnya. Tradisi adalah serangkaian prinsip yang telah
diturunkan dari langit, yang ketika diturunkan itu ditandai dengan
sesuatu manifestasi ilahi, beserta dengan penyerapan dan penyiaran
prinsip-prinsip tersebut pada masa-masa yang berbeda dan kondisi-kondisi
yang berbeda bagi masyarakat tertentu. Jadi tradisi dengan sendirinya
bersifat suci dan sering disebut dengan istilah tradisi suci.29
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 255
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
Siapakah penjaga tradisi suci tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, perlu melihat bagaimana Nasr membagi masyarakat di Dunia
Islam dalam dua kelas yang berkepentingan dengan masalah-masalah
religius, intelektual dan filosof. Pertama adalah para ulama beserta ahliahli
agama dan tradisional lainnya secara umum termasuk para sufi, dan
yang kedua adalah modernis-modernis yang masih tertarik kepada agama.
Di akhir-akhir ini muncul kelompok ketiga yang disamping bersifat
tradisional seperti ulama juga mengenal dunia modern. Mengenai para
ulama dan ahli-ahli spiritual tradisional lainnya, biasanya mereka tidak
memiliki pengetahuan yang luas tentang dunia modern beserta problem
dan kompleks-kompleksnya. Walaupun demikian, mereka ini adalah para
penjaga dan pelindung tradisi Islam. Tanpa adanya mereka ini,
kelanggengan tradisi Islam akan terancam bahaya. Sedangkan kedua
adalah para modernis yang masih tertarik pada agama. Mereka adalah
produk universitas-universitas Barat atau universitas di Dunia Islam yang
sedikit banyak telah menjiplak sistem pendidikan Barat. Ciri-ciri bersama
mereka adalah lebih menyukai hal-hal yang berbau Barat dan emnganggap
rendah hal-hal yang berbau Islam. Mereka memiliki mentalitas yang di
abad yang lampau bertanggung jawab terhadap karya-karya para penulis
Islam yang bersifat apologetik, berkenaan dengan perbenturan Islam
dengan Barat. Pendekatan modern yang apologetik terhadap krisis yang
ditimbulkan oleh perbenturan antara Islam dengan Barat ini, telah
mencoba menjawab tantangan-tantangan Barat bahwa unsur-unsur Islam
tertentu adalah sesuai dengan unsur-unsur Barat yang sedang populer,
sedangkan unsur-unsur Islam lainnya, yang betapapun juga tidak dapat
diketemukan ekivalennya di antara unsur-unsur Barat, telah
dikesampingkan sebagai unsur yang tidak penting, bahkan dianggap
sebagai unsur-unsur asing yang masuk ke dalam Islam.30 Setelah itu,
Nasr kembali menegaskan bahwa problem-problem modernisme hanya
bisa dipecahkan oleh kebijaksanaan tradisional, yang diketemukan sejak
zaman Babylonia kuno hingga China pada zaman pertengahan, di dalam
bentuknya yang paling universal dan yang paling beraneka-ragam di
dalam Islam dan di dalam kekayaan tradisi tradisi intelektual yang telah
diciptakan Islam selama lima belas abad dari eksistensinya.31
Dari paparan Nasr di atas, sebetulnya sumbangan nyata yang bisa
dipetik dari tradisionalisme Nasr adalah sisi spiritualitas atau moralitas
Islam dalam berkipraah memakmurkan alam ini. Belum terlihat dengan
256 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
jelas sisi praksis tradisionalisme dalam kiprah manusia memakmurkan
alam ini bersama berputarnya zaman dengan segala keunikannya, termasuk
dalam menatap tantangan-tantangan modernisme. Alam hanya dianggap
sebagai pendukung dalam kehidupan spiritual (Nature as Support in the
Spiritual Life). Manusia suci atau spiritual adalah manusia yang
kehendaknya integral dan sesuai sepenuhnya dengan Kehendak Tuhan
dan untuk itu kemitraan seluruh makhluk dalam hidupnya di alam ini
sesuai dengan Kehendak-Nya. “ The saint is the person whose will is perfectly
integrated into and in harmony with the Devine Will and is therefore, in a
sense, the counterpart of creatures of nature whose very life is accordance with
His Will “.32 Lebih lanjut dia mengatakan bahwa tujuan akhir dari
kosmologi Islam ( Islamic Cosmology ),adalah untuk menyediakan suatu
ilmu yang bisa memperlihatkan hubungan antar benda dan hubungan
antar hirarki kosmik satu sama lain dan akhirnya dengan Prinsip Utama
(Supreme Principle).33 Kalau penjelasan itu diafirmasikan, kemudian
diintrogasikan dengan kalimat “ tetapi bagaimana caranya “, “bagaimana
konkritnya”, jawabannya sulit sekali ditemukan dalam diskursus-diskursus
yang tersebar dalam tulisan-tulisannya. Dalam pandangannya, Islam dan
tradisinya yang harus menjadi penentu, sedangkan zaman yang harus
menyesuaikannya.
Berbeda dengan kelompok tradisionalis diatas, adalah kelompok
modernis atau reoformis –meminjam istilah A. Luthfi Asysyaukani, yang
berusaha melakukan reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang
lebih sesuai dengan tuntutan zaman. Bagi kelompok ini, tradisi masa
lalu tidak ditinggalkan. Namun agar dapat diterima, perlu dibangun
kembali secara baru dengan kerangka modern dan prasyarat rasional.34
Tidak mengherankan apabila John Obert Voll menyebut kelompok ini
dengan kelompok adaptationis, karena kelompok ini berusaha
mengadaptasikan Islam dan tradisinya dengan perkembangan
kontemporer. Abduh dan Iqbal dimasukkan oleh Voll ke dalam kelompok
ini. Komentarnya mengenai Abduh adalah “ His goal became the
reformulation of Islamic Thought and the revitalization of Islamic society through
intergrating modern and Islamic ideas and techniques “.35 Sedang komentarnya
tentang Iqbal adalah “ Muhammad Iqbal (1875-1938) was the leading
intellectual figure in the emerging adaptationist modernism “.36 Kiprah
kelompok modernis ini seperti tergambar dalam komentar-komentar
tersebut, terlihat lebih konkrit dan empirik, ketimbang kelompok
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 257
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
tradisionalis yang hanya menekankan sisi spiritualitas manusia dengan
pendekatan filsafat perenialisme dalam menatap kehidupan nyata ini.
Nasr menganggap usaha kaum modernis hanyalah dangkal dan emosional
tidak sampai ke akar permasalahan.
Penutup
Dalam menghadapi penetrasi budaya Barat, para tokoh pemikir
Muslim di Dunia Islam, selain dua tipe tersebut, terbagi lagi kepada tipetipe
lain seperti tipe mellenialis, fundamentalis, serta transformatif. Semua
tipe pemikir tersebut, hanya berbeda metodologinya tetapi sama tujuannya
yaitu bahwa Islam sebagai agama terakhir adalah bersifat zamkaniy yakni
shalih likulli zaman wa makan. Memang kadar kental tidaknya
kedekatannya dengan budaya Barat serta fanatik tidaknya meyakini
kesempurnaan Islam sebagai way of life itulah yang membedakan masingmasing
tipe tersebut.
Apapun usaha Nasr dengan spiritualitas tradisionalismenya akan
menimbulkan pro-kontra sehubungan dengan tantangan Barat yang
semakin kompleks. Sedemikian rupa sehingga sebagian ada yang
memujinya dan sebagian yang lain mengkritiknya. Hendrik N. Vroom
memujinya sebagai pre-eminent Islamic thinkers in Iran dan satu-satunya
pemikir Muslim kontemporer yang dijadikan referensi dalam bahasannya
tentang konsep kebenaran dalam tradisi Islam.37 Sementara Ziauddin
Sardar dalam karyanya Exploration in Islamic Science menyebutnya sebagai
Nowhere man.38 Sedangkan Pervez Hoodbhoy dalam bukunya Islamic and
Science : Religious Ortodoxy and the Battle for Rationality menyebutnya
sebagai the most influential and also the most sophistecated and Articulate.39[]
Catatan Akhir:
*Dosen Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Sekarang menjabat Pembantu Dekan III Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang.
1Osman Bakar, “ Filsafat Islam Kontemporer “, Ummat No. 14/ Thn.
I/ 8 Januari 1996, h. 76-7
2Seyyed Hosein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, terj.
Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), h. 3
258 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
3Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan Perspektif Filafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995 ), h. x
4“Tradisionalisme Islam : Percakapan dengan Baharuddin Ahmad” ,
ULUMUL QUR’AN. Vol. 111 No 3 Th.1992, h. 64
5Seyyed Hosein Nasr, Traditional Islam……op. cit, h. 110
6Seyyed Hosein Nasr, Islamic Studies (Beirut : Librairie Du Liban, 1967),
h. 15
7Seyyed Hosein Nasr, A Young Muslim’s Guide to the Modern World,
terj. Hasti Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), h. 191-2
8Ibid., h. 192-3
9Seyyed Hossein Nasr, Tradtional Islam…., op. cit., h. 10
10 Seyyed Hossein Nasr, “ The role of Tradional Science in the Encounter
of Religion and Science –An Oriental Perspectif “, dalam Jurnal Religious
Studies, ReIst : 1984 (o20:000) 0519-0541, h. 522
11Ibid., h. 523
12Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (State University
of The New York Press, 1989), h. 451
13Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science (London and New
York: Mansell Publishing Limited, 1989), h. 125-7
14Seyyed Hossein Nasr, Islam and the Challenge of the 21st Century (Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Ministry of Education Malaysia,
1993), h. 6-7
15Ibid., h. 3-6
16Ibid., h. 6-8. Disisni terlihat sekali ide tipikal Syi’ah dimana figur
al-Mahdi menjadi sentral untuk terwujudnya Dunia Idaman.
17Ibid., h. 8-10
18Ibid., h. 10- 13
19Ibid., h. 13-16
20Ibid., h. 16- 18
21Ibid., h. 18-28
22Yusuf Suyono, Reformasi Teologi Muhammad Abduh vis a vis
Muhammad Iqbal ( Semarang: Rasail Media Group, 2008 ), h. 187
23Ibid., h. 188
24Hendrik M. Vroom, Religions and the Truth : Philosophical Reflections
and Perspectives (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company
Grand Rapids, 1989), h. 285
25Ibid., h. 286
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008 259
Spiritualitas Tradisionalisme...Oleh Yusuf Suyono
26Ibid.
27Ibid., h. 287
28Seyyed Hossein Nasr, Islam Dan Nestapa Dunia Modern (Bandung:
Penerbit Pustaka, 1983), h. 9-10
29Ibid., h. 79
30Ibid., h. 217-9
31Ibid., h.227
32Seyyed Hossein Nasr, The Cosmos and the Natural Order, dalam
Seyyed Hossein Nasr (ed.), Islamic Spirituality (New York: The Crossroad
Publishing Company, 1987 ), h. 348
33Seyyed Hossein, Islan Dan….., op.cit., h. 350
34A. luthfi Asysyaukani, “ Tipologi Dan Wacana Pemikiran Kontemporer”
(Jakarta: Paramadina, Vol. 1, No. 1, 1988), h. 58. Menurutnya, istilah
kontemporer dibedakan dengan modern. Yang pertama menunjuk pada
era sekarang atau yang berlaku kini dan merupakan kelanjutan
modernitas serta pada saat yang sama adalah modernitas itu sendiri;
sementara yang kedua menunjuk pada era modernisasi secara umum yang
menurut sejarahnya pemikiran modern dimulai tahun 1798 sampai
sekarang. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila pemikiran
Arab abad 19 dimasukkan ke dalamnya.
35John Obert Voll, Islam : Continuity And Change in the Modern World
(England: Longman Group, 1982), h. 97
36Ibid., h. 224
37Hendrik M. Vroom, Religious and the Truth…., op. cit., h. 285
38Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science (London and New
York: Mansell Publishing Limited, 1989), h. 114
39Pervez Hoodbhoy, Islam and Science : Religious orthodoxy and the Battle
for Rationality ( Malaysia: National library, 1992 ), h. 69
DAFTAR PUSTAKA
A. Luthfi Asysyaukani, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Kontemporer”,
Jakarta: Paramadina, Vol. 1, No. 1, Th. 1988.
Hendrik M. Vroom, Religious And the Truth : Philosophical Reflections and
Perspectives, Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company.
260 Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008

0 Response to "Filsafat"

Posting Komentar